Andalan

Pendahuluan

Bismillahirohmanirrohim,

Segala puja dan puji hanya milik Allah Robb seluruh alam, Arrahman, Yang Maha Pemurah dan Arrohim, Yang Maha Penyayang. Salam dan Sholawat semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi tercinta Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam beserta keluarga dan shahabat serta pengikutnya yang ikhlas hingga akhir zaman.

Kami mulakan penulisan tulisan ini dengan pujian kepada Allah dan Sholawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam.

Kami memohon dan berharap kepada Allah dengan keberkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam dan guru-guru kami yang telah menyampaikan ilmu Allah kepada kami untuk membantu kami menulis di blog ini, karena tidak ada kemampuan tidak ada kuasa untuk menulis walaupun satu huruf atau tanda baca, kecuali dengan izin Allah.

Semoga Allah selalu meluruskan niat kami dalam menulis ini hanyalah untuk memperoleh keredhoan Allah, untuk men-share ilmu yang Allah pinjamkan kepada kami sebelum Allah memanggil kami untuk kembali kepadaNya. Tidak ada ilmu yang ada pada kami kecuali ilmu yang Allah ajarkan kepada kami.

Semoga tulisan-tulisan yang kami sampaikan ini bermanfaat untuk kami dan pembaca sekalian, di dunia dan di akhirat.

Pemuda Desa

Artikel:

Penjelasan kekeliruan ajaran membagi Tauhid menjadi 3 (Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Sifat).

Tauhid Rububiyah dalam ajaran 3 Tauhid melanggar Tauhid al Asma was Sifat ajarannya sendiri

Orang kafir mengakui adanya Allah bukan sebagai Robb mereka

Sifat Rahmat (Kasih Sayang) adalah Sifat Utama Rububiyah Allah

Mengapa Sifat Rahmat sangat penting dalam Sifat Rububiyah dan Uluhiyah Allah

Sejarah ditulisnya ilmu-ilmu Islam

Jika seseorang mengakui Allah sebagai Robb baginya.

Perbedaan memahami Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan dengan dan tanpa Sifat Rububiyah Yang Maha Mendidik dan Kasih Sayang

Allah sebagai Maha Pencipta manusia di mata orang beriman dan orang musyrikin

Al Qur´an membantah pernyataan “orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah”

Akibat ajaran Tauhid Rububiyah dari ajaran 3 Tauhid yang menyandarkan pada ayat Quran untuk orang kafir

Mengapa ASWAJA mengikuti Imam Mazhab

Anomali Tauhid Asma Wa Sifat yang memahami sifat Allah sesuai lafaz zahir Asma dan Sifat Allah, kecuali Sifat Rububiyah

Bagaimana ASWAJA memahami ayat-ayat Mutasyabihat

Perbedaan pemahaman orang beriman dan orang kafir terhadap Allah sebagai Pencipta langit dan bumi

Anomali pengikut Tauhid 3 serangkai yang percaya dengan ahlinya kecuali kepada Imam Mazhab

Isyarat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam membenarkan Aqidah ASWAJA Asy´ariyyah/Maturidiyah, berfiqih dengan bermazhab dan bertasauf

Ulama Tauhid 3 Serangkai mengubah (mentahrif) text dalam Kitab Ulama ASWAJA (1)

Ulama Tauhid 3 Serangkai mengubah (mentahrif) text dalam Kitab Ulama ASWAJA (2)

Kekeliruan Tauhid 3 serangkai membawa kepada kerancuan

Ulama Tauhid 3 serangkai memasukkan fahamannya melalui catatan kaki Mushaf Al Qur’an

Sajak Muhasabah Anehnya Tauhid 3 Serangkai

Orang kafir berputus asa terhadap Sifat Utama Rububiyah yakni Rahmat Allah

Ulama Tauhid 3 serangkai memasukan fahamannya melalui catatan kaki Kitab Riyadhush Sholihin

Mengapa pernyataan orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah adalah mustahil

Mengapa Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah adalah sama

Mengapa perkumpulan ASWAJA mesti mendeklarasikan Aqidah Asy´ariyah/Maturidiyah, bermazhab dan bertasawuf

Benarkah mengatakan mari kembali kepada Qur´an dan Sunnah mendekatkan orang kepada Qur´an dan Sunnah?

Ayah Rasulullah Shallallahu alahi wa alihi wassalam

Ibunda Rasulullah Shallallahu alahi wa alihi wassalam

Mengapa Ilmu Mantiq diperlukan untuk memahami Aqidah

Mari menyelami Sifat Wajib Allah yang 20 (bagian 1: Sifat Nafsiyah dan Sifat Salbiyah)

Mari menyelami Sifat Wajib Allah yang 20 (bagian 2: Sifat Ma’ani: Hayyun, Qudrah dan Iradah)

Mari menyelami Sifat Wajib Allah yang 20 (bagian 3: Sifat Ma’ani Ilmun dan Kalam)

Mari menyelami Sifat Wajib Allah yang 20 (bagian 4: Sifat Ma’ani Sama’ dan Bashar)

Sifat Jaiz Allah

Perbedaan mengakui Allah Yang Memberi Rezeki dengan dan tanpa mengaitkan dengan Sifat Rububiyah Yang Maha Mendidik dan Kasih Sayang

Hikmah Aksi Damai 411 (4 November 2016)

Bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari yang tidak diterangkan oleh Ustad Adi Hidayat

Hikmah Aksi Super Damai 212 (2 Desember 2016)

Mengenal Sifat Jaiz Allah untuk Memahami Khawariqul ´Adat

Mengapa muslim Ahlussunnah wal Jama’ah menolak Ustad Khalid Basalamah

Pembahasan “Di mana Allah?” secara makna zahir dapat menjerumuskan ke pemahaman Mujassimah

Apa maksud “janganlah kalian berpikir tentang Dzat Allah, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya”?

Bahaya fahaman Mujassimah (1); Allah ada di comberan?

Bahaya fahaman Mujassimah (2); Allah ada di luar alam?

Perkara buruk apa yang sama-sama dilakukan oleh golongan yang mengkafirkan Shahabat radhiallahu anhum dan golongan Tauhid 3 serangkai?

Mengapa seorang Ustad bergelar Doktor penganut Aqidah 3 serangkai menjadi tidak tahu bahwa Arsy adalah makhluk Allah?

Bahaya fahaman Mujassimah (3), Allah mempunyai sifat fisik?

Bagaimana menjelaskan konflik antara kaidah Tauhid Rububiyah dan kaidah Tauhid Asma wa Sifat dalam ajaran Tauhid dibagi 3 dengan kaidahnya sendiri

Bahaya fahaman Mujassimah (4), Allah ada di atas?

Hal penting dari Sultan Muhammad Al Fatih yang tidak diceritakan oleh Ustad Felix Siauw

Mengapa cara pembahasan Tauhid Rububiyah dalam ajaran Tauhid dibagi 3 justru dapat menjauhkan penganutnya dari makna penting Rububiyah Allah

Hakikat perbedaan ilmu yang bersanad dan ilmu tanpa sanad

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang ditakwil (dipalingkan maknanya) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Perbedaan pemahaman “tidak mentakwil” golongan yang menamakan dirinya Salafi dengan pemahaman “tidak mentakwil” Ulama Salaf

Mengapa Ustad Adi Hidayat tidak menerangkan bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari?

Islam Nusantara

Menjelaskan manfaat amalan Tahlil, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat dengan ilmu Tajwid

Apakah Kitab Suci itu Fiksi?

Mengapa Masyarakat Muslim Ahlussunnah wal Jamaah menolak Ustad Firanda

Mengapa Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah selalu mendeklarasikan nama Imam yang diikutinya dalam beraqidah dan berfikih?

Menjawab Kekeliruan Ustad Dr. Firanda terhadap Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah

 

Menjawab Kekeliruan Ustad Dr. Firanda terhadap Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah

Kami mendengar youtube penjelasan Ustad Dr. Firanda (selanjutnya kami ringkas dengan UF) tentang Kajian Al Quran adalah Kalam Allah. Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah meyakini bahwa Al Quran adalah Kalam Allah dan bukan makhluk.
Jika UF yang beraqidah Tauhid dibagi 3 menjelaskan Kalam Allah menurut ajaran Tauhid dibagi 3 saja, kami tidak peduli, karena itu adalah keyakinannya. Namun kemudian karena UF menyerang Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah tentang Kalam Allah, maka kami merasa berkewajiban untuk menjawabnya, karena kami kasihan terhadap UF dan juga orang yang terpengaruh pemahaman keliru UF ini tentang Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah Asy’ariyah.


Penjelasan UF tentang Kalam Allah dalam ajaran Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah sebenarnya menunjukkan UF tidak memahami sepenuhnya tentang Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah sehingga UF keliru memahaminya. Namun dalam keadaan keliru faham itu UF mencoba menjelaskannya dengan menyerang Aqidah Asya’riyah. Ini justru membuka faham Mujassimah ajaran Tauhid dibagi 3 yang dianutnya. Semoga jawaban ini menjadi hujjah kami bahwa kami sudah membela guru-guru kami di hadapan Allah kelak, dengan apa yang kami mampu. Semoga Allah menjaga niat kami dan membantu kami menjelaskan dan menjawab kekeliruan UF. Kami membaginya dalam beberapa point.

A. Pembagian golongan dalam pembahasan Al Quran adalah Kalam Allah adalah tidak sesuai sejarah. Ini adalah ciri fahaman Tauhid dibagi 3 yang ingin memutar balikan sejarah perkembangan Islam.

  1. Menurut UF golongan Ahlussunnah adalah golongannya (lihat gambar dan video di atas). Padahal sebenarnya golongan ini adalah golongan penganut ajaran Aqidah Tauhid dibagi 3 yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah (wafat 728H), yang kemudian dipolulerkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1206 H). Kalau kaum Tauhid dibagi 3 jujur, mestinya mereka sebut penganut ajaran Taimiyah atau kalau memang ingin memakai istilah Ahlussunnah, sebut saja penganut ajaran Ahlussunnah Taimiyah atau semacamnya.
  2. Golongan Mu’tazilah, ini golongan yang mengatakan Al Quran adalah makhluk. Golongan ini dikenal mendahulukan akal dari pada wahyu.
  3. Menurut UF golongan Asya’iroh adalah menyimpang. Padahal inilah golongan penganut Ahlusunnah wal Jamaah Asy’ariyah dari zaman ke zaman yang dikenal orang. Mayoritas Umat Islam adalah Ahlusunnah wal Jamaah Asy’ariyah dan Maturidyah. Oleh sebab itu ulamanya sangat banyak. Inilah Ulama yang dari generasi Salafus soleh membawa semua Ilmu Islam dari generasi ke generasi sampai ke zaman kita ini secara bersanad tanpa putus. Disini kita lihat kejujuran menyebut nama Asya’iroh (bentuk kata plural dari Asy’ariyah) sebagai pengakuan dan menunjukkan sanad ilmu Aqidah dari Quran dan Hadits yang diikutinya, yaitu melalui Imam Abul Hasan Al Asy’ari (wafat 324 H). sebagaimana kejujuran Ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang mengikuti ijtihad Fikih dari
    – Imam Abu Hanifah, maka mereka sebut bermazhab Hanafi,
    – Imam Malik bin Anas maka mereka sebut bermazhab Maliki,
    – Imam Syafei mereka sebut ikut Mazhab Syafei atau
    – Imam Ahmad bin Hanbal, mereka sebut bermazhab Hambali.
    Ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang asli yakin bahwa Imam-Imam yang disebut ini mengikuti Quran dan Hadits. Sehingga kalau kita berkata kami mengikuti para Imam itu, kami mengikuti Quran dan Sunnah. Bahkan suatu keberkatan dan kebanggaan jika kita diakui sebagai murid atau pengikut oleh Imam-Imam itu. Berbeda jauh dari pengikut Tauhid dibagi 3 yang enggan menyebut nama Imamnya, tapi mereka langsung mengakui ikut Quran dan Sunnah, padahal hanyalah mengikuti Quran dan Sunnah yang difahami oleh Ibnu Taimiyah.
    Berikut beberapa Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah yang banyak dikenal, dengan karya tulisnya yang dijadikan rujukan Ulama zaman sekarang:
    – Imam Al Ghazali (penulis Ihya Ulumuddin)
    Imam Ibnu Al Jazari (Ulama yang menulis Matan Al Jazari, ilmu Tajwid secara lengkap). Seluruh Qori di dunia ini dari berbagai Qiroat)
    – Imam Nawawi (penulis Riyadhush sholihin)
    – Imam Ibnu Hajar Al Asqolani (penulis Bulughul Maram)
    – Imam Jalaluddin As Suyuti (bersama Imam Jalaluddin Al Mahalli menulis Tafsir Jalalain)
    – Imam Ibnu Athoilah As-Sakandari (penulis Al Hikam)
    Dan banyak lagi. Kalau UF menganggap dirinya lebih faham tentang Kalam Allah dari pada ulama-ulama ini, tentu kita bertanya, apa jasa UF terhadap umat Islam dibanding dengan mereka semua. Mengapa dalam sejarah tidak ada Ulama yang keyakinannya seperti UF ini yang mempunyai karya besar yang diakui, seperti Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah yang kami sebut di atas?

B. Kekeliruan keyakinan Tauhid dibagi 3 yang mengatakan Kalam Allah adalah berhuruf dan bersuara (lihat video di atas)

Pemahaman Tauhid dibagi 3 yang mengatakan Kalam Allah berhuruf dan bersuara adalah hakikat keyakinan Mujassimah karena mereka selalu memahami Sifat Allah dengan makna zahir, termasuk meyakini Kalam Allah itu bersuara dan berhuruf. Keyakinan Mujassimah seperti ini yang telah menjadi penyebab seorang Ustad bergelar Doktor menjadi tidak tahu bahwa Arsy adalah makhluk Allah.
Dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah diyakini bahwa Kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara. Kita tahu bahhwa Sifat Kalam Allah bukan makhluk, sedang suara dan huruf itu adalah sifat makhluk. Walaupun mereka katakan suaranya berbeda dengan suara makhluk. Ini sama dengan perkataan mereka:
“Allah punya Tangan, Wajah, dan Mata dengan makna zahir, kemudian mereka katakan Tangan, Wajah dan Mata Allah berbeda dengan mata makhluk.” Ungkapan ini hakikatnya sama dengan pernyataan: “Allah punya Jism tapi jism Allah berbeda dengan jism makhluk“.
Kitab Mushaf Qur’an dan lafaz Quran dengan huruf dan suaranya adalah makhluk. Sedangkan Al Quran yang Kalam Allah adalah Al Quran yang ada pada Dzat Allah. Dzat dan Sifat Allah ini mempunya Sifat Salbiyah yaitu Sifat yang menolak segala kekurangan dan kelemahan. Yaitu:
1. Qidam, (selalu bersedia, tidak ada awal)
2. Baqa, (tidak ada akhir)
Sifat Qidam dan Baqa ini menjelaskan bahwa Dzat dan Sifat Allah tidak terikat dan terpengaruh oleh makhluk ciptaan Allah yang dsebut “waktu”. Jadi “waktu” adalah juga makhluk Allah. Ini yang UF tidak faham, sehingga UF mengatakan Allah statis seperti difahaminya seperti makhluk. Statisnya makhluk adalah diam tak bergerak, tetapi tetap menua dalam melewati waktu itu. Sedang Sifat Baqa dari Allah benar-benar tidak terikat dan terpengaruh. Untuk memudahkan kita faham, misalnya dalam Sifat Mengetahui. Waktu tidak menghalangi Allah untuk memengetahui makhluknya, baik ketika makhluk itu sebelum dan sesudah diciptakan ataupun setelah ditiadakan kembali.
3. Mukhalafatu lil Hawadits (tidak serupa dengan makhluk)
4. Qiyamuhu binafsihi (berdiri sindiri)
Sifat ini menjelaskan bahwa Allah tidak terikat dengan tempat. Tempat adalah makhluk
5. Wahdaniyah (Esa),
Sifat Salbiyah ini menegaskan bahwa Allah bukan Jism (jasad/benda). Yang bersifat Jism adalah makhluk baik yang zahir maupun makhluk yang gaib.

Jadi keyakinan Tauhid dibagi 3 yang mengatakan Kalam Allah itu berhuruf dan bersuara adalah keliru. Karena suara dan huruf mempunyai awal dan ada akhirnya, memerlukan waktu untuk dilaksanakan. Tidak Qidam dan Baqa. Ini adalah Mustahil. Kalam Allah Wajib bersifat Qidam dan Baqa.
Kemudian timbul pertanyaan jadi Al Quran yang mana yang disebut Kalam Allah itu?
Al Quran yang disebut Kalam Allah adalah Al Quran yang Sifat Kalam dari Dzat Allah. Diistilahkan dalam ilmu Aqidah dengan Kalam Nafsi, yang oleh UF diterjemah dengan bahasa jiwa. Kalam Allah tidak memerlukan suara dan huruf (makhluk) untuk dapat memahamkan kepada makhlukNya. Para Nabi dan Rasul memahami Kalam Allah tanpa memerlukan suara dan huruf, sebagaimana yang Allah Kehendaki.
Menurut Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah bahwa Al Quran yang berhuruf dan dapat dibaca dan diperdengarkan oleh kita ini adalah Lafaz Quran Ini adalah makhluk sebagaimana Mushaf Al Quran yang dapat kita lihat. Buktinya dapat kita lihat, Qori yang membaca Al Quran adalah makhluk, maka suara yang dikeluarkannya juga makhluk. Demikian juga Mushaf Quran adalah makhluk yang terbuat dari makhluk yaitu kertas atau kulit atau benda lain yang dapat ditulis. Namun walaupun semua ini makhluk kita wajib menghormatinya dan memuliakannya, karena itu adalah Lafaz Quran sebagai ungkapan dari Al Quran Kalam Allah.

Bagaimana menjelaskan Lafaz Al Quran adalah ungkapan Kalam Allah?

Pernahkah anda mendengar jawaban Siti Aisyah ketika ditanya bagaimana akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wassalam? Beliau menjawab akhlaq Rasulullah adalah Al Quran.
Ini bukti bawah memang ada ungkapan Kalam Allah itu yang dijadikan makhluk. Untuk akhlak manusia yang sempurna sebagai ungkapan Al Quran Kalam Allah itulah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Oleh sebab itu kita wajib mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan seluruh Ulama pewaris Nabi yang membawa ilmu dan pengamalan Al Quran yang diwarisi dari Nabi. Jadi yang disebut Allah menjaga Al Quran adalah menjaga ilmu dari Kalam Allah yaitu lafaz Al Quran dan pembawa ilmu dan pengamalan Al Quran. Bukan hanya menjamin lafaz Quran saja.

Lafaz Al Quran adalah ungkapan Quran Kalam Allah, tetapi belum menjamin orang yang hafal Lafaz Al Quran itu memahami ilmu dan berakhlak sebagaimana isi Al Quran. Bahkan dalam sejarah kita ketahui bahwa pembunuh Sayidina Ali bin Abi Thalib adalah seorang Khawarij yang penghafal (lafaz) Al Quran. Mereka ini disebut oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, imannya hanya sampai di tenggorokan, maksudnya adalah imannya hanya sampai pada membaca lafaz Al Quran saja, dan tidak sampai masuk ke dalam hatinya. Itu sebabnya walaupun orang Khawarij hafal dan pandai membaca lafaz Al Quran, namun tidak memahami isi Al Quran, yang membuatnya jauh dari akhlak Al Quran.


(bersambung)

Mengapa Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah selalu mendeklarasikan nama Imam yang diikutinya dalam beraqidah dan berfikih?

Ciri-ciri Ahlussunnah wal Jama’ah yang disepakai oleh jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu:

  1. Dalam hal fikih mengikuti satu dari 4 Imam Mazhab yang sudah kita kenal, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafei dan Imam Hambali.
  2. Dalam hal Aqidah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.
  3. Dalam hal Tasawuf mengikuti Ulama Tasawuf seperti Imam Ghazali dan Imam Junaid Al Bagdadi.

Imam-Imam ini sudah dikenal luas dan diakui oleh Jumhur Ulama Ahlussunnah wa Jama’ah, bahwa sanad ilmu mereka bersambung hingga Shahabat radhiallahu ‘anhum dan seterusnya kepada Rasulullahi shahallalahu alaihi wassalam. Pengakuan kepada Imam-Imam itu terjadi secara alami dan teruji, yaitu mereka dikenal pribadinya oleh para Ulama sezamannya, dan diceritakan dari kehidupan dan saksi dari para Ulama secara langsung. Bukan melalui media sosial yang bermodalkan share melalui teknologi seperti di zaman sekarang.
Dengan cara seperti ini lembaga Ilmu Ahlussunnah wal Jama’ah ini dibangun dan dibentengi oleh ribuan Ulama, sehingga dapat terus diwariskan dari zaman ke zaman hingga sekarang.

Di antara cara mereka membentengi itu adalah mereka selalu mendeklarasikan Aqidah dan Mazhab Fikihnya kadang-kadang juga Tariqat yang dipegangnya pada Kitab-kitabnya. Hal ini sudah menjadi standard penulisan Kitab mereka pada Muqadimahnya, bahkan ada yang mencantumkan pada nama lengkap mereka. Misalnya:
– Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin Al-Misri As-Suyuthi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari atau kita kenal dengan Imam As-Suyuthi.
– Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyya Al-Anshari Al-Khazraji As-Sunaiki Al-Qahiri Al-Azhari Asy-Syafi’i yang dikenal juga sebagai Imam Zakaria Al Anshori. Al-Azhari maksudnya adalah beliau dari Universitas Al Azhar, dan Universitas Al-Azhar sudah dikenal Aqidahnya adalah mengikuti Imam Al Asy’ari dan befikih dengan bermazhab.
– Ahmad bin Ahmad bin Abi-Hamid Al ‘Adawi Al-Maliki Al-Azhari al-Khalwati ad-Dardir atau dikenal dengan Imam Ahmad Ad-Dardir. Al Khalwati adalah Tariqat beliau dalam bertasawuf, bahkan beliau termasuk Syeikh Tariqat Al Khalwati.

Mengapa menyatakan pegangan Aqidah dan Fikih ini begitu penting, sehingga perlu ditulis dalam Kitab mereka?

  1. Penghormatan, penghargaan dan tanda terimakasih terhadap guru-guru mereka. Rasulullah saw bersabda,
    لا يشكر اللَّه من لا يشكر الناس
    “Belum bersyukur kepada Allah siapa yang tidak bersyukur kepada manusia.”
    Ilmu Aqidah dan Ilmu Fikih adalah ilmu yang sangat penting karena diperlukan dan bermanfaat seumur hidup. Bahkan manfaatnya dibawa hingga ke akhirat. Jadi wajar saja kalau para Ulama itu merasa sangat berhutang budi kepada guru-guru mereka itu. Para Ulama itu sangat bersyukur telah menerima ilmu yang telah menyelamatkan agama mereka, sehingga mereka tidak akan melupakan jasa mereka dan akan selalu mendoakan gurunya yang amat berjasa itu.
  2. Mengakui besar dan hebatnya Ilmu Aqidah dan Fikih Ahlussunah wal Jam’ah dan tentu saja mengakui kehebatan dan kecerdasan para Imam-Imam ahlussunnah wal Jamaah yang telah menyusun ilmu ilmu itu. Mereka telah melaksanakan Fardhu kifayah yang besar dan penting yaitu menyusun ilmu asas Ahlussunnah wal Jama’ah.
  3. Agar menyambung barokah, guru-guru mereka selalu memberitahukan nama Imam kepada mereka ketika mengajarkan ilmu-ilmu itu. Dengan demikian mereka juga nanti akan meneruskan menyebutkan nama Imam itu kepada murid mereka nanti, sebagai sambungan barokah dan tanda bahwa mereka belajar dari guru yang bersanad.
  4. Penyebutan nama para Imam secara tidak langsung menjadi benteng ilmu Aqidah dan Fikih itu dari serangan orang yang menentangnya, atau yang ingin mencoba membawa ajaran lain yang bertentangan dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah juga menulis Kitab-Kitab untuk lebih menjelaskan dan mengokohkan Ilmu Aqidah Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturudi serta mengokohkan ilmu Fikih para Imam Mazhab.
  5. Mengeratkan ukhuwah diantara Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan menyebut nama para Imam Aqidah dan Fikih memudahkan para Ulama saling mengenal dan dapat saling bermahabbah (mencintai) karena mempunyai guru yang berasal dari madrasah dari Imam yang sama yang sudah dikenal bersambung sanad ilmunya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
  6. Mengajarkan ukhuwah antara guru dan murid dengan tauladan. Kita belajar agama adalah melalui guru. Guru mengajarkan kita ilmu dengan penyampaian dan tauladan.
    Ukhuwah Islamiyah adalah termasuk ajaran Islam yang penting. Maka tauladan ukhuwah yang kita peroleh dari guru yaitu ukhuwah antara guru dan murid, antara kita dan guru kita itu, serta antara guru kita dengan gurunya. Kita dapat merasakannya langsung.
    Imam Zakaria Al Anshori (wafat 923 H) berkata “Saya adalah khadam Imam Syafei ketika saya hidup dan mati”. Maksud beliau adalah beliau menguatkan dan membela Mazhab Imam Syafei. Beliau dimakamkan di dekat Imam Syafei di Kairo, sehingga ada ulama yang mengatakan begitulah Imam Zakaria Al-Anshori begitu cintanya dan berkhidmatnya kepada Imam Syafei sehingga ketika sudah wafatpun jasadnya juga menjaga jasad Imam Syafei. Maka siapa yang menziarahi Imam Syafei juga dapat menziarahi “khadam”nya yaitu Imam Zakaria Al Anshori.
    Bagaimana beliau yang hidup 700 tahun setelah Imam Syafei dapat merasakan kecintaan yang begitu mendalam kepada Imam Syafei, sehingga bersedia menjadi khadam Imam Syafei, kalau bukan karena guru-gurunya yang menceritakan tentang Imam Syafei kepada beliau?
    Penyebutan nama Imam-Imam itu termasuk dalam pelajaran ukhuwah kita kepada para Imam-Imam itu, agar ada hubungan kecintaan kita dan para Imam yang telah amat berjasa mengajarkan ilmu itu kepada kita melalui guru-guru kita. Kita meresakan bahwa kita dapat mengetahui ilmu agama adalah berkat guru kita, guru kitapun yang ulama merasa menjadi alim berkat jasa ulama yang mengajarnya dan seterusnya hingga para Imam Ahlussunnah wal Jamaah, kemudian terus bersambung hingga shahabat radhiallahu anhum. Dan para shahabat meresakan dapat menjadi shahabat adalah berkat bertemu dan beriman kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
    Kalau dengan Imam yang berjasa saja kita tak dapat rasakan ukhuwah terhadapnya, bagaimana kita dapat mengamalkan ukhuwah kepada orang lain yang jasanya tidak sebesar jasa para Imam itu?

Bagaimana jika ada Ulama yang telah mengambil ilmu dari Imam-Imam Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak mau menyebut nama Imam-Imam ini?

Zaman sekarang ada Ulama yang mengkaji Kitab Ulama Ahlussunnah wal Jamaah tetapi tidak menyebut Aqidah dan Fikih Mazhab apa yang dia pegang secara explisit sehingga kita kaum muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah tidak dapat mengetahui mereka dengan jelas apa Aqidah dan Fikih mereka, sebagaimana kita mengenal Ulama Ahlussunah wal Jama’ah selama ini.

Hal ini oleh mereka mungkin dianggap tidak penting. Namun ini adalah perkara besar. Itulah sebabnya kami sangat menekankan dalam tulisan-tulisan kami tentang pentingnya perkara ini. Jika seseorang mempelajari Kitab Ahlussunnah wal Jama’ah tapi tidak mau mendeklarasikan Aqidah dan Fikih Mazhab yang dipegangnya hakikatnya adalah:

  1. Mereka tidak memahami secara utuh ilmu Aqidah dan ilmu fikih Ahlussunnah wal Jama’ah, atau mereka memang jahil. Sehingga mereka tidak dapat merasakan hebatnya ilmu Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Sehingga mereka tidak melihat kecerdasan dan kealiman para Imam itu. Mereka tidak dapat merasakan bagaimana jerih payah perjuangan dan keikhlasan para Imam dalam menyusun ilmu itu. Karena itu mereka merasa dapat menggali lagi ilmu langsung dari Quran dan Sunnah tanpa melalui manhaj yang diajarkan oleh para Imam Ahlussunnah wal Jamaah itu. Mereka kemudian mengaku telah mengikuti Quran dan Sunnah karena merasa telah menemukan dalil yang lebih sahih. Biasanya mereka sudah terpengaruh ajaran Tauhid dibagi 3 yang rapuh dan aneh kaidahnya. Merekapun tidak menyebut nama Ulama yang mereka ikuti itu, bahkan mereka suka mengklaim Ulama Ahlussunnah wal Jamaah adalah mengikuti aqidah mereka.
  2. Mereka tidak sadar dengan tidak menyebut nama Imam dari Aqidah dan mazhab fikih yang mereka pegang, mereka telah mengubah cara pengajaran ilmu agama dari yang diajarkan oleh Imam Ahlussunnah wal Jama’ah.
    Tentu ada yang memulai cara pengajaran ilmu agama seperti itu. Mungkin gurunya sudah begitu. Atau kalau ternyata semua gurunya mengakui Aqidahnya Asy’ariyah/Maturidiyah dan fikihnya mengikuti Imam mazhab, maka dia sendirilah yang memulai cara pengajaran agama yang berbeda dari Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Ini sangat berbahaya. Apa sebabnya?
    Kemungkinan besar murid-muridnya akan mengikuti jejaknya, termasuk tidak lagi menyebutkan nama gurunya itu, sebagaimana dia diajarkan. Dan seterusnya generasi berikutnya akan melupakan jasa dan ilmu Imam-Imam Ahlussunnah wal Jamaah.
  3. Mereka mungkin membaca Kitab Imam-Imam Ahlussunnah wal Jamaah tetapi dengan pemahaman yang tidak sesuai atau bahkan berlawanan dengan pemahaman penulisnya. Na’udzubillahi min dzalik. Ketahuilah ilmu itu ada pada hati manusia dan bukan pada kitab. Kitab hanya berisi catatan ilmu yang menulisnya. Yang untuk memahaminya kita perlu belajar dari guru yang mempunyai sanad ilmu yang sampai kepada penulisnya.
  4. Tidak ada hubungan ukhuwah yang erat antara guru dan murid. Padahal ini adalah jenis ukhuwah yang pertama kita pelajari dan amalkan dari tauladan gurunya, yaitu ukhuwah dengan guru yang mengajarkan ukhuwah itu sendiri. Jika dengan para Ulama yang berjasa mengajarkan ilmu agama yang amat diperlukan seumur hidupnya dia tak mau menyebutnya, bagaimana dia dapat mengamalkan ukhuwah kepada orang lain yang jasanya tidak sebesar jasa gurunya itu?

Oleh sebab itu mudah bagi kita yang sudah mengenal Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah untuk mengenali guru atau ulama yang berpegang pada Ahlussunnah wal Jamaah dan mengenali pula mana guru atau ulama yang tidak berpegang pada Ahlussunnah wal Jamaah.

Wallahu a´lam

Artikel lain ada dalam Daftar Isi

Mengapa masyarakat muslim Ahlussunnah wal Jamaah menolak Ustad Firanda

Tulisan ini berkaitan erat dengan tulisan kami Mengapa Masyarakat Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah menolak Ustad Khalid Basalamah. Berhubung baru-baru ini ada peristiwa yang mirip yaitu penolakan masyarakat muslim Ahlussunnah wal Jamaah terhadap Ustad Firanda di Aceh dan beberapa tempat, maka perlu rasanya kami menjelaskan mengapa Ustad yang bersangkutan ditolak.

Selain perkara Fikih, sebenarnya perkara yang lebih berbahaya adalah perkara Aqidah mereka yang bertentangan dengan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Jumhur Ulama telah menjelaskan bahwa Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya adalah mengikuti Aqidah yang disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.

Sedang golongan yang mengaku Salafi sebenarnya mengikuti ajaran Tauhid dibagi 3 yang disusun oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bis Abdul Wahab, yang sudah lama diperingatkan oleh KH Hasyim Asy’ari tentang penyinpangannya dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah. Ustad Adi Hidayat telah menjelaskan, namun melompati bagian pentingnya yaitu:

  1. Apa itu Ahlussunnah wal Jamaah yaitu
    a. Islam, ilmunya disebut ilmu Fiqih dengan mengikut satu dari 4 Imam Mazhab (dalam hal ini di Indonesia, mayoritas bermazhab Syafei)
    b. Iman, ilmunya disebut ilmu Tauhid/Aqidah yang merujuk kepada Imam Abul Hasan Al Asy’ari (dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.
    c. Ihsan, ilmunya disebut Ilmu Tasawuf/Akhlak mengikuti Ulama Tasawuf seperti Imam Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi
  2. Kekeliruan ajaran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab yang membagi Tauhid menjadi 3 (Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Sifat).

Perlu kami garis bawahi bahawa kaidah ajaran Tauhid dibagi 3 itu tidak konsisten dan saling bertentangan diantara kaidahnya, karena telah menolak Ilmu Mantiq dalam Ahlussunnah wal Jamaah, sehingga kita dapat melihat konflik kaidah atau double standard dalam ajaran dibagi 3 itu cukup dengan keterangan yang mereka buat sendiri.

Berikut ini kami sampaikan bukti pernyataan dari Ustad yang bersangkutan dalam video YouTube yang bertentangan dengan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang sering disebut dengan Sifat 20. Mudah-mudahan video itu tidak dihapus setelah tulisan ini keluar, kecuali jika Ustad yang bersangkutan kembali kepada Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang dijelaskan oleh KH Hasyim Asy’ari.

  1. Faham Mujassimah dengan mengatakan dengan makna hakiki/zahir: Allah berada di atas langit, Allah berada di atas, Allah turun ke alam dunia. Serta merendahkan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah dalam keadaan beliau sendiri jahil atau tidak memahami apa itu Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah.

Lihat
Penjelasan makna “Allah berada di atas”

2. Faham Mujassimah dengan mengatakan Allah punya Tangan, Allah punya Wajah dengan makna hakiki/zahir

Lihat:
Bagaimana Ahlussunnah wal Jamaah memahami ayat Mutasyabihat

Lihat juga:
Pembahasan “Di mana Allah?” secara makna zahir dapat menjerumuskan ke pemahaman Mujassimah

Apa maksud “janganlah kalian berpikir tentang Dzat Allah, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya”?

(draft)


Apakah Kitab Suci itu fiksi?

Sekitar bulan April 2018 ada heboh tentang apakah Kitab Suci itu fiksi? Namun kemudian kehebohan itu seperti hilang begitu saja dan baru di awal Tahun 2019 heboh “Kitab suci itu fiksi” kembali dibicarakan. Yang dihebohkan adalah apakah kalimat “Kitab suci itu fiksi” itu menistakan agama atau tidak.

Ada ulama dan kaum inteketual muslim yang mengatakan itu bukan menistakan agama tapi ada pula yang mengatakan itu adalah penistaan agama.

Izikan kami menanggapi thema ini secara ringkas saja, karena inti masalahnya juga sebenarnya sederhana. Pembicara sudah menjelaskan secara jelas apakah “Kitab suci itu fiksi” dari definisi fiksi yang dibuatnya.

Mari kita simak kalimat yang diucapkan pembicara

  1. Fiksi berfungsi sebagai energi untuk mengaktifkan imajinasi (kira-kira menit ke 0:40).
  2. Fiksi itu lawannya realitas bukan fakta.
  3. Kemudian dia bertanya apakah Kitab suci itu fiksi atau bukan?
    Kemudian dia jawab sendiri, karena fiksi itu mengaktifkan imajinasi maka Kitab Suci adalah fiksi.

Karena pembicara tidak membicarakan apa itu definisi imajinasi maka kita ambil definisi imajinasi di wikipedia yaitu

Imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang secara umum

Bagi orang yang tidak berfikir lebih dalam, menganggap apa yang dikatakan pembicara adalah tidak menistakan agama. Namun sebenarnya kata-kata ini berbahaya dan sangat menistakan agama. Mengapa?

Mari kita bertanya pada diri sendiri untuk menjawab dengan penjelasan yang dibuat oleh pembicara dalam video di atas yaitu : fiksi berfungsi sebagai energi untuk mengaktifkan imajinasi. Fiksi itu lawannya realitas bukan fakta.

Dia katakan fiksi lawannya realitas. Fiktif lawannya fakta. Menurutnya fiksi bukan fiktif (bohong). Di sini ada keterangan yang disembunyikan, yaitu fiksi adalah dugaan atau prediksi yang belum tentu menjadi fakta (lihat juga makna fiksi di Wikipedia). Artinya fiksi itu belum tentu terjadi, yaitu mungkin akan ada atau terjadi, dan mungkin tidak akan ada atau tidak akan terjadi.

Kemudian dia simpulkan: karena Kitab Suci adalah mengaktifkan imajinasi maka Kitab Suci adalah fiksi. Kalimat itu secara tidak langsung menjelaskan atau menggiring pendengar bahwa energi satu-satunya yang dapat mengaktifkan imajinasi hanyalah fiksi. Inilah sumber penistaan. Seolah-olah tidak ada energi lain yang mengaktifkan imajinasi. Bagi kita orang yang beriman, imajinasi kita yang didorong oleh Quran dan Hadits, bukanlah diaktifkan oleh fiksi tetapi realitas yang disampaikan oleh Allah melalui Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam. Kita yakini bahwa apa yang disampaikan Allah adalah realitas, walaupun ada yang kita belum melihatnya atau ada yang belum terjadi, karena itulah yang disebut “iman bil ghaib”, iman kepada yang ghaib (yang tidak dapat kita tangkap dengan panca indra).

Mengapa kita katakan Kitab Suci itu realitas? Adanya Allah Maha Pencipta alam semesta adalah realitas yang nyata sekali yang dapat kita lihat pada makhlukNya bukan fiksi yang belum terjadi. Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang yang amat memperhatikan kita adalah realitas bukan fiksi.
Atau kita sebut saja perkara di hari Akhirat yaitu Syurga dan Neraka. Syurga dan Neraka ini realitas, nyata. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sudah melihatnya ketika peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Orang Muslim yang masih mengira Syurga dan Neraka adalah fiksi bukan realitas, artinya dia belum beriman bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersifat Siddiq yang selalu berkata benar, na’udzu billahi min dzalik. Betapa bahayanya jika pernyataan Kitab Suci itu fiksi dibiarkan.

Kalau dengan keterangan ini belum jelas bagi anda bahwa ini penistaan. Mari kita buat permisalan yang sederhana.

  1. Seorang muslim ingin sholat Shubuh setiap hari di Mesjid. Dia terbayang janji Allah yang disebut dalam Kitab Suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Dia yakin akan janji Allah ini. Dia membayangkan hidupnya akan diberkati oleh Allah, rezekimya dimudahkan. Dosanya diampunkan, dan berharap semoga Allah matikan dia dalam husnul khatimah. Apakah energi yang mengaktifkan imajinasi dia untuk menyambut masa depan yang penuh harapan dan diberkati disebut fiksi?
  2. Sultan Muhammad Al Fatih dari Kerajaan Usmaniyah, telah diberitahu dari kecil oleh guru dan juga orang tuanya akan janji Rasulullah shallallahu alahi wassalam bahwa Konstatinopel (Istanbul) akan dibuka (dikuasai) oleh umat Islam. Beliau berazam dan berusaha keras untuk menjadi orang yang dijanjikan Rasulullah itu. Kemudian timbul imajinasinya untuk mempersiapkan perjuangannya itu. Diantara ide dari imajinasi yang cemerlang adalah menyeberangkan kapal melalui daratan. Dapatkah energi yang membangkitkan imajinasinya itu disebut fiksi?
  3. Ketika ada demo yang dikenal dengan Aksi Damai 212. Umat Islam berharap Allah membantu mereka dalam membela agama Islam, memohonkan diampunkan dosa dan mengharapkan bantuan Allah. Ketika sebelum dimulai mereka berimajinasi (membayangkan) akan datang jutaan Umat Islam ke Monas, sehingga panitia membuat persiapan yang matang untuk menyambutnya. Apakah yang mengaktifkan imajinasi yang didorong oleh membela Qur’an boleh disebut fiksi?

Ada juga Umat Islam yang membela. Kata mereka pembicara tidak menyebut Kitab Suci mana. Karena pembicara bukan muslim maka mereka “bersangka baik” bahwa yang dimaksud adalah Kitab Sucinya bukan Al Qur’an. “Sangka baik” itu adalah kemungkinan besar yang dimaksud adalah Kitab Injil. Kita tahu bahwa Al Qur’an telah menyebut bahwa Kitab Injil sudah dipalsukan sebagiannya.

Sekarang kami ingin bertanya apakah bagian yang masih jelas sama dengan yang disebut dalam Al Qür’an seperti Kisah beberapa Nabi dan Rasul, apakah ini masih boleh disebut fiksi? Sedang diantara rukun Iman adalan Iman kepada Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah yaitu Taurat, Zabur, Injil dan Qur’an.
Kalau pembicara ketika itu menyebut dengan jelas bahwa yang dimaksud Kitab Suci yang fiksi itu adalah bagian Kitab Injil yang tidak sesuai dengan Al Qur’an, maka baru dapat disebut bahwa pembicara tidak melakukan penistaan agama Islam.
Bagaimana dengan umat Kristiani? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh kaum Kristiani sendiri.

Membahas realitas yang penting untuk diri kita lebih baik dari pada bicara fiksi.

Kami cukup prihatin sebab pembicara akhir-akhir ini telah menjadi idola sebagian umat Islam. Padahal kalau kita dalami jalan fikirannya, fikirannya bertentangan satu dengan yang lain. Jadi kita justru kasihan kepadanya, karena dia merasa pandai dan menganggap orang yang tidak sefaham dengannya atau memahaminya disebut dungu. Dia merasa paling sehat akalnya, sehingga dia berkata kalau diberi kesempatan dia ingin mendirikan Universitas akal sehat. Sebagian Umat Islam seperti terkagum-kagum dengannya.

Dia katakan fiksi lawannya realitas. Katanya fiksi itu belum terjadi, sedang realitas sudah terjadi. Padahal perlu dijelaskan bahwa fiksi itu baru dugaan atau prediksa masa depan yang belum tentu terjadi. Artinya mungkin akan ada atau terjadi dan mungkin tidak akan ada atau tidak akan terjadi.

Semestinya kalau manusia itu sehat akalnya tentu yang difikirkan pertama adalah realitas yang amat penting untuk dirinya, Tapi ternyata banyak realitas penting yang sudah terjadi, yang dia tidak akui atau yang tidak diketahui atau dia tidak ingin mengetahuinya. Padahal banyak orang yang mengetahui realitas itu.

Contoh: Nabi Muhammad shallallhu alaihi wassalam adalah realitas yang sudah ada lebih 1400 tahun yang lalu dan tetap ada pengaruhnya sampai sekarang. Beliau adalah Nabi akhir zaman yang menjadi rahmatan untuk alam semesta. Nabi Muhammad adalah manusia yang paling sempurna dan sehat akalnya. Manusia yang selalu benar ucapan yan tindakannya. Manusia yang paling amanah yang dipercaya. Manusia yang menyampaikan apa yang mesti disampaikan kepada umatnya. Beliau shallallhu alaihi wassalam sudah menyampaikan kejadian yang akan ada di zaman ini dan zaman yang akan datang.

Nabi Muhammad sudah wafat, tapi ulama pewarisnya masih ada, Nabi Muhammad shallallhu alaihi wassalam membawa Kitab Suci Al Qur’an yang diwahyukan oleh Allah Subhana wa ta’ala. Ini adalah realitas yang sudah ada pula sejak lebih 1400 tahun yang lalu. Tapi nampaknya realitas ini dia tidak tahu atau dia tidak mau tahu.
Jadi kalau realitas penting yang pasti terjadi atau yang pasti akan terjadi ini diabaikan, mengapa sibuk berbicara tentang fiksi yang belum tentu terjadi? Mengapa akalnya – yang menurut orang banyak sehat- tidak dipakai memikirkan realitas yang penting buat dirinya?
Sebagai umat Islam, apakah orang seperti ini yang sudah berani mengatakan Kitab Suci adalah fiksi layak disebut sehat akalnya?

Wallahu a’lam

Menjelaskan manfaat amalan Tahlil, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat dengan ilmu Tajwid

Kita sebagai umat Islam yang pernah belajar membaca Al Qur’an pasti mengenal ilmu Tajwid. Dan kita semua menerima pentingnya ilmu Tajwid dan tidak pernah mempersoalkan berbagai metoda atau cara para guru dan ulama mengajarkan ilmu Tajwid, walaupun metoda dan cara itu semua tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu alaih wassalam, sehingga tidak pernah kita mendengar ada tuduhan bid’ah dalam metoda dan cara belajar ilmu membaca Al Qur’an. Padahal seperti kita ketahui bahwa untuk perkara lain seperti Tahlilan, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat lain, ada golongan tertentu terutama golongan Tauhid dibagi 3 dengan mudah mereka menuduh bahwa perkara itu adalah bid’ah yang sesat dan membawa orang masuk ke neraka.

Mungkin anda agak heran dengan judul tulisan kami di atas itu. apa hubungannya ilmu Tajwid dengan Tahlil, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat lainnya, sehingga manfaat amalan-amalan itu dapat dijelaskan dengan ilmu Tajwid?

Dalil tentang bolehnya melakukan amalan tahlil, istighotsah, Maulid dan Tariqat sudah banyak disampaikan oleh para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Misalnya dapat dilihat di konsultasi-syariah-in, atau di tebuireng-online.

Sebelum kami menjelaskan hubungan ilmu Tajwid dengan perkara tersebut, kami ingin meceritakan apa itu ilmu Tajwid. Ilmu Tajwid adalah ilmu untuk kita dapat membaca Al Qur’an dengan benar. Ilmu Tajwid dengan bentuk metoda dan cara seperti sekarang ini belum ada di zaman Rasulullah shallallahu alaih wassalam. Namun pengamalan dalam membaca Al Qur’an dengan ilmu Tajwid sudah ada. Rasululllah shallallahu alaih wassalam adalah guru pertama Ilmu Tajwid itu dan para Shahabat radhiallahu alhum adalah murid-murid pertama yang belajar dari Rasulullah shallallahu alaih wassalam.
Mengapa ilmu Tajwid dengan cara atau metoda seperti sekarang belum ada? Jawabannya karena ilmu Tajwid yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan. Tulisan Al Qur’an yang bertitik dan berharokat belum ada. Bahkan Mushaf Al Qur’an yang lengkap terdiri dari 30 Juz juga belum ada. Mengapa semua perkara ini belum ada? Jawabnya sama, perkara ini semua belum diperlukan. Para Shahabat dapat membaca Qur’an dengan benar tanpa perlu dengan alat dan metoda yang kita kenal sekarang.

Mushaf pertama baru ada di zaman Khalifah Sayidina Abu Bakar radhiallahu anhu. Kitapun bertanya, mengapa para Shahabat waktu itu baru berinisiatif untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an secara lengkap? Jawabnya adalah sebab mereka melihat perubahan zaman dan keadaan yaitu banyaknya Shahabat yang hafal Qur’an wafat dalam peperangan, sehingga Sayidina Umar bin Khattab merasa perlu dan mengusulkan Sayidina Abu Bakar untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an secara lengkap, sehingga menjadi satu Mushaf Qur’am yang utuh. Jadi ditulisnya Al Qur’an secara lengkap, sehingga menjadi satu Mushaf Qur’an yang utuh di zaman Sayidina Abu Bakar adalah karena keperluan di zaman itu

Di zaman Khalifah Sayidina Umar bin Khattab, Islam sudah mulai menyebar ke bangsa-bangsa lain di luar bangsa Arab. Mushaf Al Qur’an resmi baru ada satu buah yang ditulis di zaman Sayidina Abu Bakar Siddiq. Di zaman Khalifah Sayidina Utsman bin Affan perlu ada standarisasi tulisan Qur’an. Mushaf Al Qur’an itu dibawa ke seluruh negeri, untuk dijadikan standard penulisan Al Qur’an. Perlu digarisbawahi disini bahwa penulisan Al Qur’an dalam satu Mushaf itu baru kerangka tulisan Arab yang tanpa titik dan tanpa garis. Lihat gambar di bawah ini

Sejarah penulisan Al Qur’an terus berkembang sesuai dengan keperluan zaman. Islam telah tersebar pada kaum non Arab yang kemampuan bahasa Arabnya tidak sebaik orang Arab. Maka para alim ulama terus berfikir keras bagaimana agar membaca dan memahami bacaan Al Qur’an dapat mudah diajarkan ke umat Islam dari zaman ke zaman. Ringkasnya tulisan Al Qur’an kemudian diberi titik dan harakat. Dan kemudian terus berkembang dengan tanda dibaca panjang, tanda boleh/tidak boleh/mesti berhenti dan lain-lain yang semua itu dibuat sesuai keperluan zaman.

Hingga sekarang tulisan Al Qur’an tidak lagi di atas kertas tetapi telah ditulis dalam “Apps” agar dapat dibaca dengan “Smartphone” yang tidak hanya diberi tanda baca tetapi juga warna yang berbeda untuk keperluan tertentu dalam ilmu Tajwid. Lihat contoh “Apps” dibawah ini.

Kami tidak pernah mendengar bahwa perubahan dan pembaharuan penulisan Al Qur’an zaman sekarang yang begitu extrim ini (jika dibanding zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam) disebut bid’ah sesat. Bahkan tidak juga dikatakan bid’ah oleh golongan Tauhid dibagi 3 (Wahabi) yang mudah membid’ahkan amalan Tahlil, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat lain.
Alasan kaum Tauhid dibagi 3 (Wahabi) mengatakan amalan Tahlil, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat lain itu bid’ah adalah karena amalan itu adalah perkara ibadah. Berbeda dengan naik kendaraan atau naik pesawat dan lain-lain. Itu semua adalah perkara dunia. Jika ini alasannya, maka kami ingin bertanya apakah membaca Al Qur’an dengan memakai Qur’an Apps adalah perkara dunia atau perkara ibadah?

Kemudian bagaimana dengan ilmu Tajwid, dimana diantaranya ada melatih makhroj huruf dengan menyebut huruf-huruf tertentu yang tidak ada maknanya. Apakah ini tidak termasuk ibadah?
Lihat video ini , (link video yang dibawahnya sudah dihapus accountnya).

dan scan dibawah :

Bahkan kalau kita belajar Tajwid dengan guru yang bersambung sanadnya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam – yang di Indonesia ini dikenal dengan bacaan menurut “riwayat Hafs dari Ashim” – kita mesti bertemu dengan guru itu. Kita mesti melihat gerakan mulutnya, mendengar dan menirukan. Kita dapat dikatakan benar membaca Al Qur’an jika telah disahkan oleh guru kita itu, bahwa bacaan kita sudah benar. Untuk mengajarkan kita pun mesti mendapat “ijazah” dari guru kita itu agar bacaan Qur’an yang akan kita sampaikan kepada “murid” kita pun dapat dijamin kebenarannya. Bagi anda yang telah belajar Tajwid dan mendapat ijazah mengajar, berapa intensif dan berapa lama waktu yang diperlukan?

Setelah kita membahas ringkas tentang ilmu Tajwid dan memahaminya, marilah kita bahas hubungan amalan Tahlil, Istighotsah, Maulid dan amalan Tariqat dengan ilmu Tajwid di atas.

Seperti kita ketahui ilmu Al Qur’an bukan hanya ilmu membaca. Walaupun membaca Al Qur’an itu penting, tetapi ada yang jauh lebih penting dari sekedar membaca yaitu memahami dan mengamalkannya.

Kalau untuk dapat membaca Al Qur’an dengan benar – bagi kita yang bukan dibesarkan di lingkungan yang makhroj bahasa Arabnya benar – kita perlu usaha yang kuat, guru yang bersanad yang kita mesti belajar secara talaqi (bertemu langsung ketika belajar) dan waktu yang intensif, maka bagaimana cara kita belajar agar kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan Al Qura’an dengan benar?

Ketika kita sudah membaca ayat Al Qur’an dengan Tajwid yang benar sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam (menurut riwayat Hafs dari Ashim), mari kita tanya pada diri sendiri,
– apakah hati dan fikiran kita juga telah memahami, merasakan dan kemudian mengamalkan ayat Al Qur’an itu dengan benar sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam ?
– Bagaimana kita dibesarkan, apakah kita dibesarkan dalam lingkungan yang mengamalkan Al Qur’an dengan benar sebagaimana di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, Shahabat radhiallahu anhum, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in?

Perlu kita sampaikan disini, bahwa di zaman Shahabat ada golongan yang hafal Al Qur’an dan benar membacanya, namun mereka tidak faham sama sekali tentang isi Al Qur’an, bahkan telah membunuh Shahabat utama Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Golongan itu adalah golongan Khawarij. Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda

يَخْرُجُ نَاسٌ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ ، لا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيهِ حَتَّى يَعُودَ السَّهْمُ إِلَى فُوقِه

Akan keluar kelompok manusia dari arah timur. Mereka membaca Al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka melesat keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya sampai anak panah kembali ke busurnya.” (HR Bukhari)

Inilah bukti dan dalil bahwa walaupun ilmu Tajwid dalam membaca Al Qur’an itu penting, tetapi memahami dan mengamalkan Al Qur’an itu jauh lebih penting.

Kembali ke ilmu Tajwid, sebagaimana Ulama Ilmu Tajwid berusaha keras agar umat Islam di zamannya dan zaman setelahnya dapat belajar membaca Al Qur’an dengan mudah, maka Ulama Ahlussunnah wal Jamaah khususnya Ulama Tariqat berusaha keras agar Umat Islam dizamannya dan zaman setelahnya dapat mengamalkan Islam yaitu Quran dan Sunnah dengan mudah.

Kalau Ulama Ilmu Tajwid membuat dan mengembangkan metode Ilmu Tajwid yang sesuai dengan zamannya. Mereka membuat cara untuk melatih makharijul huruf untuk “melunakkan” bibir, lidah, tenggorokan dan rahang agar dapat mengucapkan huruf Al Quran dengan tepat. Maka Ulama Tariqat membuat dan mengembangkan amalan yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah agar umat Islam di zamannya mudah melaksanakan Islam dan syiar Islam. Seperti juga Ulama Ilmu Tajwid, Ulama Tariqat dan Ulama yang Murobbi, membuat cara untuk melatih melunakkan hati agar dapat memahami dan mengamalkan isi Al Quran dengan tepat.

Cinta dan mengenal Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam adalah wajib, sedang setelah Nabi shallallahu alaihi wassalam wafat dan melewati zaman salaf (3 abad pertama Hijriyah), masyarakat Islam yang hidup sesuai Al Qur’an dan Sunnah semakin sedikit, dan terus bertambah sedikit. Maka diadakanlah acara Maulid Nabi, yaitu mengumpulkan Umat Islam untuk sama-sama bersholawat, membaca sirah Nabi, membaca Al Quran, membaca Dzikir, Tausiyah, dan bersedekah dengan menyediakan makanan dan lain-lain yang diperintahkan Qur’an dan Sunnah. Waktunya tidak perlu menunggu hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wassalam.  Ada yang merutinkan dengan membaca Maulid tiap bulan, tiap minggu, bahkan ada yang setiap hari.

Demikian juga dengan acara Tahlil, membaca Yasin, Istighotsah, Haul (peringatan setahun wafatnya muslim yang dihormati seperti wali, ulama atau juga orang tua kita), membaca manaqib (riwayat hidup wali/ulama) dan amalan Tariqat lain. Dengan adanya amalan ini, anak-anak kita akan besar dalam suasana seperti ini. Mereka dikenalkan dengan membaca Dzikir, Sholawat, Sirah Nabi dan kesenian Islam dari kecil. Maka syiar itu semua akan mempengaruhi hati dan fikirannya dalam mengenal Islam.
Perlu digaris bawahi disini ada perkara yang amat penting yang selalu dilakukan dalam amalan-amalan tersebut adalah mendoakan orang tua, guru-guru, Ulama, pendakwah dan leluhur kita serta orang yang berjasa kepada kita dan seluruh muslimin baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Hal ini juga melatih kita untuk berterima kasih kepada mereka, mengingati jasa orahg lain dan berkasih sayang kepada seluruh umat Islam. Dianjurkan pula kita berdoa untuk kebaikan bangsa dan negara kita. Disinilah kita berlatih untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Kalau kita cermati, betapa cerdas dan berpandangan jauhnya para Ulama Tariqat zaman dahulu. Seolah-olah mereka pada zaman itu sudah melihat zaman kita sekarang yang banyak fitnah dan tawaran kegiatan/acara duniawi yang menarik. Mulai dari acara harian, mingguan seperti olah raga, acara bulanan seperti show TV, acara tahunan seperti Tahun Baru dan lain-lain. Belum lagi dikenalkannya tokoh-tokoh yang tidak ada kaitannya dengan dakwah Islam sama sekali, seperti bintang film, bintang sepak bola dan lain-lain.

Jika kita ikuti amalan para Ulama Tariqat/Ahlussunnah wal Jamaah dan disesuaikan dengan zaman ini melalui teknologi tentu kita dapat menyelamatkan banyak umat Islam dari mengikuti kegiatan yang malalaikan tersebut.

Mana yang bid’ah mengikuti acara liga sepak bola, konsert band atau melakukan Maulid, Tahlil, Istighotsah dan amalan Tariqat lain? Sudah saatnya kita bersama Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah memperbanyak amalan seperti ini yang lebih menarik Umat Islam terutamanya anak-anak dan remaja. Karena di tangan merekalah masa depan Umat Islam yang akan menggantikan kita.

Dengan penjelasan ringkas di atas maka dapat kita analogikan sebagai berikut. Jika pemberian titik, harakat, tanda baca dalam Mushaf Al Qur’an dan berbagai metoda latihan dalam Ilmu Tajwid adalah bertujuan agar kita dapat belajar dan membiasakan untuk membaca Al Qur’an dengan benar. Maka amalan Tahlil, Maulid, Istighotsah, membaca Manaqib dan amalan Tariqat lainnya adalah dilakukan dengan tujuan untuk membantu kita menghayati ajaran, membiasakan dan mengamalkan Islam.

Demikian juga sebagaimana belajar Ilmu Tajwid kita memerlukan guru yang bersanad yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wassalam,  agar kita dapat melihat, mendengar dan meniru guru kita itu dalam membaca Al Qur’an dengan benar, maka kita perlu pula guru yang bersanad yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, dalam memahami makna Al Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan kita. Dalam Tariqat, guru ini disebut dengan guru Mursyid. Beliau bukanlah ma’shum, karena hanya Nabi dan Rasul yang ma’shum. Namun guru Mursyid mendapat bimbingan dan terjaga oleh Allah karena ketaqwaan dan ilmu maknawiyah Qur’an yang diamalkannya dalam segala aspek kehidupannya.

Wallahu a’lam

Artikel lain ada dalam Daftar Isi

Islam Nusantara

Beberapa tahun terakhir ini istilah Islam Nusantara sering dibicarakan. Berbagai golongan mencoba mendefinisikan istilah Islam Nusantara dengan cara mereka masing-masing. Kami memperhatikan cara orang mendefinisikan istilah Islam Nusantara mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan keyakinan yang mereka fahami tentang Islam.

Oleh sebab itu kami sebagai penganut Islam Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah ingin pula menyampaikan pemahaman kami tentang Islam Nusantara sebagaimana yang kami fahami dari guru kami yang mengikuti Ulama-Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah, yaitu Ulama yang pertama kali membawa risalah dakwah Islam ke bumi Nusantara ini, sehingga Islam kemudian menjadi agama yang diterima di bumi Nusantara sebagai agama yang telah mewarnai kehidupan umat Islam di Nusantara ini pada umumnya dari tingkat orang awam hingga tingkat pemerintahan dalam kesultanan atau kerajaan Islam dari ratusan tahun yang lalu.

Pegangan Ulama Nusantara yang telah menjadi  asas Islam di Nusantara itu adalah sama dengan asas Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah disepakati oleh jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu:

  1. Islam, ilmunya disebut Ilmu Fiqih, yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariat yang diwajibkan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh kaum muslim dan muslimat. Jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama´ah bersepakat bahwa dalam ilmu fiqih, umat Islam Ahlussunnah wal Jama´ah mengikuti satu dari 4 Mazhab yang mu´tabar yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafei dan Mazhab Hambali. (lihat Mengapa Ahlussunnah wal Jamaah mengikuti Imam Mazhab).
  2. Iman, ilmunya di sebut Ilmu Tauhid atau Aqidah, yaitu hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf (orang yang telah dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terdiri dari ketuhanan, kenabian, dan hal-hal yang sam’iyyat (masalah-masalah ghaib). Jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama´ah bersepakat bahwa jika disebut Aqidah Ahlussunnah wal Jama´ah adalah Aqidah yang disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy´ari (wafat 324 H) dan Imam Abu Mansur Al Maturidi (wafat 333 H). Oleh sebab itu disebut juga Aqidah Ahlussunnah wal Jama´ah Asy´ariyyah dan Maturidiyah. (lihat Mari menyelami Sifat Wajib Allah yang 20 (bagian 1: Sifat Nafsiyah dan Sifat Salbiyah)).
  3. Ihsan, ilmunya disebut Ilmu Tasawuf, yaitu ilmu tentang akhlak bathin dimana sifat yang baik (mahmudah) wajib dijadikan hiasan oleh seorang hamba, dan sifat yang buruk mazmumah mesti dibuang dan ditinggalkan. Di antara Imam yang telah menyusun Kitab Tasawwuf dari Ulama Ahlussunnah wal Jama´ah adalah Imam Junaid Al Baghdadi, Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani, Imam Ghazali, Ibnu Athoilah As-sakandari dan banyak lagi.

    (lihat Sejarah ditulisnya ilmu-ilmu Islam Ahlussunnah Wal Jama´ah ).

Apa itu Islam Nusantara?

KH Hasyim Asy’ari menerangkan dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah di Nusantara itu adalah dalam

  • fiqihnya ikut Imam Syafei,
  • Aqidah (teologi)  ikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari,
  • Tasawwuf ikut Imam Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.

Lihat juga

Bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari yang tidak diterangkan oleh Ustad Adi Hidayat

Mengapa Ustad Adi Hidayat tidak menerangkan bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari?

Hal penting dari Sultan Muhammad Al Fatih yang tidak diceritakan oleh Ustad Felix Siauw

Maka jelas bahwa asas Islam Nusantara adalah sama dengan asas Islam Ahlussunnah wal Jamaah pada umumnya. Kehidupan Islam, Iman dan Ihsan yang disebut di atas telah menjadi amalan yang umum oleh masyarakat Nusantara dengan mengakomodir kebiasaan masyarakat Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, yang  sudah ada sebelum masuknya dakwah Islam. Misalnya kebiasaan masyarakat Nusantara seperti suka bersilaturahmi dan kebersamaan, suka tolong menolong dan gotong royong, suka memberi makan dan makan bersama, suka dengan kesenian menari dan menyanyi. Pada prinsipnya Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tidak anti kepada budaya masyarakat yang sudah ada, selama tidak melanggar Islam (dalam hal fikih/syariat) dan  Iman (Aqidah).

Ciri khas Islam Nusantara yang mungkin agak berbeda dengan Islam di luar Nusantara adalah:

Dalam perkara fadhoilul amal yaitu amalan sunnat yang dianjurkan agar memperoleh taqwa

  • Amalan tahlilan, yaitu menghadiahkan amal membaca Quran dan dzikir untuk orang Islam baik yang sudah meninggal maupun untuk yang masih hidup.
  • Acara maulud Nabi, yaitu membaca riwayat hidup Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Di dalam acara tersebut ada silaturahmi, tausiyah dan biasanya disediakan makanan untuk para tetamu.
  • Acara Halal bihalal, setelah melalui bulan Ramadhan, yaitu silaturahmi antara keluarga/saudara/kerabat, teman lama, teman sekantor, teman satu sekolah dan lain-lain. Dalam acara tersebut biasanya juga disertai makan bersama.
  • Bersholawat sebelum masuk waktu sholat.
  • Ziarah makam orang soleh (contoh makam Wali Songo),  yang bertujuan selain mengingati mati juga mengenang jasa para pejuang dan pendakwah Islam untuk kita jadikan tauladan.
  • Dan lain lain

Dalam hal kebiasaan makanan

  • Lontong, ketupat lebaran beserta opor ayam dan yang memeriahkan hidangan lebaran lainnya
  • Bubur Asyura untuk memperingati hari Asyura (10 Muharam).
  • Rendang, sambal goreng
  • Nasi tumpeng untuk acara Maulid Nabi
  • Dan lain – lain

Dalam hal budaya yang juga memeriahkan syiar Islam

Semua perkara di atas telah digunakan oleh Ulama Nusantara menjadi media untuk syiar agama Islam. Kita telah melihat keberhasilan dakwah mereka sehingga nenek moyang kita sejak ratusan tahun telah memeluk agama Islam mengislamkan budaya kita.

Bahkan di Sumatera Barat, adat istiadat di sana mesti berlandaskan syariat Islam, sebagaimana ungkapan yang terkenal yaitu “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah“. Ini menunjukkan bahwa Islam tetap mengakui adat istiadat selama ianya tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Mengapa perlu melaungkan Islam Nusantara?

Beberapa puluh tahun yang lalu istilah Islam Nusantara belum dikenal dan tidak perlu diperkenalkan, karena kehidupan Islam sebagaimana yang disebutkan dalam perkara-perkara Islam Nusantara di atas sudah mendarah daging pada umat Islam di Nusantara. Lalu mengapa sekarang perlu melaungkan Islam Nusantara?

Hal ini tidak lain dan tidak bukan sebab akhir-akhir ini nampak bahaya pengaruh Islam yang dibawa masuk ke Indonesia yang berbeda pemahamannya dari Ulama yang dahulu datang dan berhasil mengislamkan Nusantara. Sanad ilmu Ulama Nusantara sudah jelas, dari mana mereka belajar mendapatkan ilmu Quran dan Sunnah, dengan landasan ilmu Fiqih. Aqidah dan Tasawuf yang disebut di atas.

Pengaruh Islam yang baru mulai masuk di abad ke 20 itu berbeda pemahamannya dari jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka ada yang tidak lagi berpegang pegangan Ulama Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal fikih tidak ikut salah satu Mazhab. Dalam perkara Aqidah tidak lagi berpegang pada Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah.  Mereka juga tidak lagi mengikuti Ulama Tasawwuf yang sangat memperhatikan dakwah Islam yang rahmatan lil alamin di Nusantara.

Mereka ini sering disebut dengan istilah gerakan Islam Transnasional. Gerakan Islam ini berasal dari negara lain di luar Nusantara yang di negara asalnya pun tidak berhasil mengislamkan masyarakat Islam di sana dengan cara Islam yang mereka fahami.

Kalau di negara asalnya saja ulama mereka bahkan pendiri gerakan itu, yaitu orang yang paling faham tentang cara berkehidupan Islam yang mereka gagas sendiri pun tidak berhasil mereka bangun agar menjadi role model bagi umat Islam lain, bagaimana mereka dapat menyuruh umat Islam lain dari bangsa lain untuk melaksanakan gagasan Islam mereka itu? Bagaimana umat Islam lain dapat mencontoh, sedang penggagasnya sendiri belum berhasil membangunnya? Apalagi jika asas Islamnya bukan Ahlussunnah wal Jamaah yang disebut di atas.

Yang jelas keberadaan mereka itu telah menjadikan kehidupan Islam yang tadinya aman damai di Nusantara menjadi heboh, karena keberadaan mereka cenderung memecah belah Umat Islam di Nusantara. Bahkan ada yang ingin mengganti dasar negara Pancasila yang telah disepakati oleh Ulama Nusantara. Itu sebabnya betapa perlunya Ulama-Ulama Nusantara perlu kembali melaungkan Islam Nusantara di Indonesia.

Mengapa kita tidak mengikuti jejak Ulama Nusantara yang lebih mengenal bangsa Nusantara ini dan telah jelas terbukti berhasil mengislamkan Nusantara dengan aman damai?

Sehingga negara Indonesia masih menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga sekarang.

Mengapa justru mengambil cara ulama dari luar Nusantara yang belum mengenal masyarakat Nusantara?

Mereka di negaranya sendiri pun belum terbukti berhasil membangun Islam yang mereka fahami itu.

Kalaupun menurut mereka sudah berhasil, belum tentu cara pemahaman mereka itu sesuai untuk Umat Islam di Nusantara yang telah menerima Islam yang disampaikan oleh Ulama-Ulama Nusantara terdahulu. Apalagi jika asas Islam mereka itu bukan Ahlussunnah wal Jamaah yang disebut di atas.

Mari kita belajar dari umat Islam di Turki. Umat Islam di Turki kembali kuat adalah sebab mereka kembali mengikuti jejak Ulama Turki yang dahulu telah berhasil mengislamkan Turki, sehingga Islam telah mewarnai kehidupan mereka dari mulai orang awam sampai ke pemerintahan yaitu berdirinya Kerajaan Usmaniyah. Itu sebabnya mengapa Turki tetap utuh dan menjadi kuat sekarang.

Banyak orang di Nusantara tidak tahu bahwa landasan Islam di Turki adalah sama dengan landasan Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dibawa oleh Ulama-Ulama yang pertama datang dan berhasil mengislamkan Turki.

Aqidah mereka masih satu yaitu Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah. Fiqih mengikuti satu dari Imam Mazhab yang 4 yaitu pada umumnya bermazhab Hanafi.

Ulama-Ulama mereka masih berpegang pada ilmu Tasawuf dan bahkan umumnya  bertariqat.  Buku-buku tulisan Ulama Turki yang bersambung sanad ilmunya dengan Ulama dari zaman kerajaan Usmaniyah masih menjadi main stream bacaan Umat Islam di Turki,

Banyak kebiasaan umat Islam Turki yang mirip dengan umat Islam Nusantara, yaitu mereka punya budaya seni yang sudah diislamkan yang menjadi media syiar Islam di Turki. Misalnya tarian sufi dari Syeikh Jalaluddin Rumi dari Konya.

Umat Islam Turki sangat hormat kepada para wali, termasuk memelihara makamnya agar memudahkan orang menziarahi makam mereka. Diantaranya makam yang terkenal adalah makam Shahabat Rasulullah yaitu Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu anhu.

Hingga kini kalau anda ziarah ke sana, anda akan mendapati banyak orang Turki sholat lima waktu berjamaah di Mesjid dekat makam dan menziarahinya. Bahkan jika ada keluarga yang baru menyunatkan anaknya atau pasangan yang baru menikah, mereka akan menziarahi makam Abu Ayyub Al Anshari untuk bertabaruk kepada Shahabat Nabi shallallahu alaihi wassalam.

Demikian juga ketika menyambut hari Asyura 10 Muharam, umat Islam Turki juga menyediakan makanan khusus yang terbuat dari manisan buah-buahan yang mereka namakan Aşure Tarifi.

Gerakan Transnasional hampir tidak ada pengaruhnya di Turki. Itulah sumber kekuatan Islam di Turki. Jamaah dan partai politik boleh berbeda, tetapi ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang mereka anut adalah tetap sama, Mungkin ini keberkatan dari perjuangan membawa panji kekhalifahan Islam Ahlussunnah wal Jamaah selama hampir 700 tahun, yang diantara Sultannya dan tentaranya dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam Pemimpin dan tentara yang terbaik  yang membuka Konstantinopel (Istanbul).  (lihat Hal penting dari Sultan Muhammad Al Fatih yang tidak diceritakan oleh Ustad Felix Siauw).

Berbeda dengan Indonesia yang sudah agak terpengaruh dengan gerakan Islam Transnasional. Itu sebabnya Ulama Nusantara kembali mengingatkan perlunya kembali memahami Islam Nusantara, yaitu Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang telah dibawa para pendakwah yang pertama datang ke Nusantara. Mereka telah terbukti berhasil mengislamkan Nusantara dengan cara dakwah mereka yang berhikmah, sebagaimana berhasilnya Ulama Turki mengislamkan Turki.

Wallahu a’lam

Artikel lain ada dalam Daftar Isi

Mengapa Ustad Adi Hidayat tidak menerangkan bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari?

Tulisan tentang “Bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari yang tidak diterangkan oleh Ustad Adi Hidayat” dan lanjutannya (bagian 2) sudah beberapa lama kami sampaikan. Bagian penting yang tidak diterangkan itu adalah:

1. Tentang mazhab Ahlussunah wal Jamaah satu-satunya di Jawa (Nusantara), yaitu dalam fiqih ikut Imam Syafei, dalam Aqidah (teologi) ikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari, dalam Tasawwuf ikut Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan Asy-Syadzili.

2. Tentang ajaran (Aqidah Tauhid dibagi 3) yang menyimpang dari Ahlussunnah Wal Jama’ah dimana disebutkan ulamanya di antaranya yaitu Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi dan Ahmad bin Taimiyah. Mereka megharamkan yang disunahkan kaum muslimin, yaitu perjalanan ziarah ke makam Nabi s.a.w. dan selalu menyalahi pendapat kelompok lainnya.

Kami menunggu dan mengharapkan semoga Allah luangkan waktu bagi beliau untuk menerangkan bagian yang penting itu, karena pada waktu itu beliau beralasan tidak dapat menerangkannya karena sempitnya waktu. Namun sampai saat tulisan ini ditulis kami belum mendengar atau menemukan rekaman kuliahnya tentang itu. Mohon kiranya kami diberitahu melalui komentar di bawah, jika ada pembaca kemudian menemukannya setelah tulisan ini keluar. Jazakumullahu khairan.

Kami mengeluarkan tulisan ini, karena kami secara tidak sengaja telah menemukan dalam satu kuliah pernyataan Ustad Adi Hidayat yang erat kaitannya dengan bagian penting yang telah dilewatkannya itu. Namun sangat kami sayangkan pernyataan yang disampaikan beliau itu secara tidak langsung berbeda dengan fakta yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah dilompatinya.

Ketika beliau melompati bagian penting Kitab Risalah wal Jamaah itu beliau sudah menerangkan bahwa sebelum tahun 1330 Hijriyah hanya ada satu mazhab di Jawa sesuai dengan tulisan KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlussunah Wal Jamaah.

Setelah melompati bagian penting ini beliau menjelaskan lagi bahwa KH Hasyim Asy’ari sudah memberi peringatan bahwa sejak tahun 1330 H muncul aliran yang menyimpang. Kemudian beliau tegaskan lagi bahwa sekarang ini sudah tahun 1438 H (tahun beliau memberikan kuliah itu), jadi sudah 108 tahun yang lalu KH Hasyim Asy’ari memberi ingatan tentang aliran menyimpang yang masuk Nusantara. Kalau sudah sejak 108 tahun sudah diberitahu tidak faham juga, dengan cara apa lagi dapat diberi peringatan? Pertanyaan ini konflik dengan kenyataan bahwa beliau melompati bagian penting yang berisi peringatan dari KH Hasyim Asy’ari itu.

Namun dalam video di bawah ini, ternyata beliau secara tidak langsung menerangkan hal yang berbeda dengan yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari. Kami sudah mengupdate link video ini satu kali karena link yang sebelumnya dihapus setelah tulisan ini keluar

Perhatikan ucapan beliau dalam video di atas mulai di menit ke 12. Beliau menyebutkan tentang  4 Imam Mazhab fikih dalam Ahlussunnah wal Jamaah yang sekarang masih ada beserta daerah penyebaran Mazhab-Mazhab itu yaitu:

  1. Imam Abu Hanifah. Mazhab Hanafi menyebar di Asia Selatan, India, Pakistan sampai Timur Jauh di China
  2. Imam Malik bin Anas. Mazhab Maliki menyebar dulu di Madinah, terus menyebar ke Afrika Utara, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, Italia, Perancis
  3. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafei. Mazhab Syafei, menyebar di Syam, Syria, sebagian Mesir sampai Asia Tenggara.
  4. Imam Ahmad bin Hambal, Mazhab Hambali menyebar di kawasan Teluk terutama Arab Saudi.

Namun kemudian beliau bertanya (kira-kira di menit 13:00): Pertanyaannya orang Indonesia masuk kemana?

Pertanyaan ini sebenarnya cukup aneh, sebab ada konflik dengan pernyataan beliau sebelumnya bahwa Mazhab Syafei menyebar ke Syam (Syria), sebagian Mesir dan Asia Tenggara. Bukankah Indonesia terletak di Asia Tenggara? Mengapa perlu lagi menanyakan Mazhab apakah yang menyebar di Indonesia? Keterangan bahwa Mazhab Syafei adalah satu-satunya Mazhab di Nusantara sudah disebut oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah.

Kemudian beliau menjelaskan bahwa orang tua kita luar biasa, semua negara-negara itu dikunjungi. Semua Mazhab dipelajari dan pulang membawa semua khazanah ilmu itu. Pernyataan ini juga aneh. Sebab sepengetahuan kami para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah sangat arif dalam berdakwah. Mereka sangat menjaga kepentingan dakwah pada masyarakat awam. Tidak ada Ulama Ahlussunnah wal Jamaah ingin muridnya membawa Mazhab yang berbeda ke daerah yang sudah ada Mazhab.

Contoh Ulama Ahlussunnah wal Jamaah masih dapat dilihat hingga sekarang yang cukup dikenal adalah  Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi Al Maliki di Rusaifah, Mekkah. Kakek beliau yaitu Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki adalah guru dari Kyai Maemun Zubair. Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki bermazhab Maliki namun Kyai Maemun Zubair bermazhab Syafei. Sampai sekarang Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi Al Maliki tidak pernah menyuruh atau bahkan melarang muridnya yang datang dari Indonesia yang bermazhab Syafei untuk mengubah Mazhab menjadi Mazhab Maliki seperti yang dipegangnya. Bukti lain bahwa di Nusantara ini hanya ada Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang disebut oleh KH Hasyim Asy’ari, lihatlah bekas atau kerajaan Islam yang masih ada sekarang di Nusantara, termasuk di Brunei dan Malaysia. Bahkan di Brunei disebutkan dalam dasar negara bahwa landasan Islam yang mereka anut adalah beraqidah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi serta berfikih mengikuti Mazhab Syafei.

Demikian juga kalau kita pelajari riwayat hidup Ulama-Ulama Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia dari awal Islam masuk Indonesia, termasuk para Wali Songo hingga di awal abad 20, mereka semua beraqidah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan berfikih mengikuti Mazhab Syafei, dan bertasawuf bahkan umumnya mereka mempunyai Tariqat. Di antara ulama-ulama itu adalah:

1. Syeikh Yusuf Al Makassari
2. Pangeran Diponegoro
3. Syeikh Nawawi Al Bantani
4. Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari
5. Syeikh Muhammad Yasin Al Fadani
6. Syeikh Kholil Al Bangkalani
7. Syeikh Ahmad Khotib As-Sambasi
8. Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi
9. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
10. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
11. KH Ahmad Dahlan
12. KH Hasyim Asy’ari

Mengapa umat Islam di Asia Tenggara mayoritas berfiqih Mazhab Syafei, memegang Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari (Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah) dan bertasauf dengan mengikuti Imam Ghazali?
Karena pembawa risalah dakwah Islam yang pertama kali dalam jangka cukup panjang hingga ratusan tahun umumnya berasal dari Hadhramaut, Yaman yang juga berfiqih Mazhab Syafei, memegang Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan bertasauf dengan mengikuti Imam Ghazali. Sampai hari ini di sana masih menjadi pusat menuntut 3 asas ilmu (Fiqih, Aqidah, Tasawuf) Ahlussunnah wal jamaah itu.  Kebanyakan mereka adalah para Habaib yaitu Ulama keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wassalam. Bahkan para Sultan Kerajaan Islam di Nusantara mayoritasnya adalah dari keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wassalam.
Sampai sekarang masih dapat kita lihat keturunan para Habaib di Indonesia. Hubungan antara Ulama Nusantara dan Hadhramaut, Yaman masih cukup intensif baik saling silaturahmi antara mereka yang masih bersaudara dan dalam pengajaran dan menuntut ilmu.

Kerajaam Usmaniyah yang mayoritas bermazhab fikih Hanafi dan beraqidah dan mengikuti Imam Abu Mansur Al Maturidi (Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Maturidiyah) ketika membantu para juru dakwah ke Indonesia dan membantu perjuangan melawan penjajah, tidak pernah menyuruh untuk menyebarkan Mazhab Hanafi di Indonesia, karena berfikih dengan mengikuti salah satu dati Imam Mazhab yang 4 (Hanafi, Maliki, Syafei, Hambali) dan beraqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah sudah benar dan cukup, tidak perlu lagi mengubah Mazhab. Ulama dan Umara Ahlussunah wal Jamaah sangat arif dalam berdakwah.

Jadi sungguh aneh jika dikatakan ada orang Indonesia yang belajar di berbagai negara kemudian datang ke Indonesia membawa Mazhab yang berbeda dari Mazhab Syafei.

Kalau kita jujur dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia, fenomena masuknya “Mazhab baru” ke Indonesia justru baru ada setelah tahun 1330 Hijriyah (catatan: 1 Muharam – 30 Dzulhijjah 1330 Hijriyah = 22 Desember 1911 – 10 Desember 1912 Masehi)  sebagaimana yang disebut oleh KH Hasyim Asy’ari. “Mazhab yang baru” ini masuk bersama dengan golongan Aqidah Tauhid 3 serangkai yaitu pengikut Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi. Maka keterangan Ustad Adi Hidayat ini secara tidak sadar telah membenarkan fakta tulisan KH Hasyim Asy’ari tentang “masuknya aliran yang menyimpang” di tahun 1330 H itu, namun dari sisi pandang yang berlawanan, yaitu disebutnya sebagai “semua Mazhab dipelajari dan pulang membawa semua khazanah ilmu itu semua“. Namun kemudian beliau sendiri mengakui bahwa mereka ini datang kadang menyampaikan ilmu tidak sempurna. Bahkan beliau sebut inilah sumber utama gagal faham dalam persoalan ini (menit 14:05).

Jadi yang awalnya beliau sebut “orang tua kita luar biasa, semua negara-negara itu dikunjungi. Semua Mazhab dipelajari dan pulang membawa semua khazanah ilmu itu”. Namun kemudian beliau bantah sendiri sebagai “karena menyampaikan ilmu yang tidak sempurna, menjadi sumber gagal faham dalam persoalan ini”. Maka jelas orang-orang yang disebut ini berbeda alirannya dari Ahlussunnah wal Jamaah yang dibawa pendakwah Islam yang pertama datang ke Indonesia yaitu yang dalam fiqih ikut Imam Syafei, dalam Aqidah (teologi) ikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari, dalam Tasawwuf ikut Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan Asy-Syadzili. Jadi tanpa sadar beliau menceritakan fakta datangnya aliran baru yang menyimpang yang datang sejak tahun 1330 H sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari.

Memang fakta, bahwa golongan yang baru datang ini sering menuduh bid’ah amalan Ahlussunnah wal Jamaah seperti ziarah kubur, tahlil, maulid, membaca Sayidina dan sebagainya bahkan menuduh sesat ilmu Tasawuf karena melihat orang yang mengaku mengamalkan Tasawuf yang tidak menjalankan Syariat Islam. Memang ada “penjahat” Tasawuf yaitu orang yang merasa cukup hatinya baik tetapi tidak lagi sholat atau tidak mengamalkan syariat yang lain. Semestinya untuk golongan ini perlu diberi peringatan sesuai dengan kesalahan yang dibuatnya yaitu agar kembali mengamalkan syariat, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Bukan justru menyalahkan ilmu Tasawuf. Ini adalah cara berfikir atau “modus” yang berbahaya. Orang yang menyalahkan Tasawuf seperti ini, adalah seperti fenomena musuh Islam yang menyalahkan Islam sebab ada orang yang mengaku Islam tetapi melakukan kekerasan atau terorisme mengatasnamakan Islam, seperti yang kita lihat di zaman fitnah ini.

Golongan yang suka menuduh bid’ah ini sering mengaku ikut Quran dan Sunnah, Mereka tidak mau ikut Imam Mazhab dengan mengatakan Ulama adalah bukan maksum. Namun secara tidak sadar meraka sangat fanatik dengan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi dan ulama pengikutnya, seolah-olah mereka bukan maksum, Mereka tidak mau mengikuti satu dari 4 Mazhab dalam Ahlussunnah wal Jamaah, karena masih mentarjih fikih dari para Imam Mazhab itu, mana yang menurut mereka paling kuat. Padahal Imam Bukhari dan Imam Muslim walaupun mereka menyusun Kitab Hadits, mereka tetap mengikuti satu dari 4 Mazhab itu, yaitu mengikuti mazhab Syafei. Mereka tahu bahwa mereka adalah Ulama Hadits, dan bukan Ulama Fikih yang dapat mengistinbat hukum langsung dari Quran dan Hadits. Itu sebabnya kita tidak pernah mendengar ada Mazhab Imam Bukhari atau Mazhab Imam Muslim (lihat Mengapa Ahlussunnah Wal Jamaah mengikuti Imam Mazhab).

Kami menyampaikan ini untuk memberikan informasi yang sebenarnya tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia, karena ada informasi mengelirukan yang memungkinkan orang memahami sebaliknya. Kalau informasi yang benar tidak disampaikan setelah mendengar ada orang menyampaikan informasi yang dikelirukan, maka kami khawatir  bahwa kami dianggap membiarkan saudara seiman kami mendapatkan informasi yang keliru, tanpa berusaha memperbaikinya dengan memberitahu. Semoga Allah menerima tulisan kami yang dhoif ini sebagai ibadah dalam usaha berbuat ihsan.

Perlu kami sampaikan disini, bahwa kami tidak bermaksud apa-apa terhadap Ustad Adi Hidayat atau siapapun yang menyampaikan informasi yang mengelirukan seperti beliau, kecuali kami hanya ingin menyampaikan kebenaran yang disampaikan oleh para ulama dan guru-guru kami yang sangat berjasa membawa Islam ke Nusantara, sehingga kita bangsa Indonesia khususnya dan Nusantara umumnya telah memeluk Islam sejak ratusan tahun yang lalu.  Ini juga bentuk syukur dan terima kasih kami kepada mereka. Sudah sepantasnya kita membesarkan dan menceritakan jasa mereka. Karena dengan itu kita mengajarkan kepada generasi setelah kita agar menjadi generasi yang tahu bersyukur dan berterima kasih. Semoga Allah mengekalkan nikmat Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang hakiki ini bagi bangsa Indonesia hingga akhir zaman.

Sebaliknya jika ada suatu golongan yang mencoba menceritakan masuknya Islam tapi berbeda dari fakta dan menutupi atau bahkan mengelirukan fakta sejarah ini, adalah seperti mengajarkan orang untuk berbuat serupa terhadap dirinya sendiri. Kita dapat mengajarkan bersyukur kepada anak didik kita, jika kita memberi contoh bagaimana bersyukur kepada orang yang sangat berjasa kepada kita. Kalau dengan orang-orang yang berjasa saja kita hapus sejarahnya atau dikelirukan, bagaimana kita dapat mendidik anak didik kita bersyukur?.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan memasukkan kita kepada golongan orang yang bersyukur kepada Allah dengan bersyukur kepada orang yang berjasa kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda:

لا يشكر اللَّه من لا يشكر الناس

“Belum bersyukur kepada Allah siapa yang tidak bersyukur kepada manusia.”

Lihat juga:

Hal penting dari Sultan Muhammad Al Fatih yang tidak diceritakan oleh Ustad Felix Siauw

Isyarat Rasulullah SAW membenarkan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy´ariyyah/Maturidiyah, berfiqih dengan bermazhab dan bertasauf

Mengapa perkumpulan ASWAJA mesti mendeklarasikan Aqidah Asy´ariyah/Maturidiyah, bermazhab dan bertasawuf

Hakikat perbedaan ilmu yang bersanad dan ilmu tanpa sanad

Wallahu a’lam

Artikel lain ada dalam Daftar Isi

Perbedaan pemahaman “tidak mentakwil” golongan yang menamakan dirinya Salafi dengan pemahaman “tidak mentakwil” Ulama Salaf

Akhir-akhir ini banyak kita dengar golongan yang menamakan dirinya Salafi. Konon dengan nama “Salafi” mereka mengklaim bahwa pemahaman mereka sama dengan Ulama Salaf, yaitu Ulama yang hidup di tiga abad pertama Hijriyah, yaitu kurun terbaik Umat Islam sesuai dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam:

خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)

Golongan yang menamakan dirinya Salafi menyebarkan pemahaman Asma wa Sifat Allah dengan makna aslinya yang zahir tanpa takwil, karena kata mereka Ulama Salaf tidak mentakwil ayat-ayat Al Qur’an. Benarkah anggapan mereka ini?

Sebenarnya “tidak mentakwil”nya golongan yang menamakan dirinya Salafi berbeda jauh dengan “tidak mentakwil”nya Ulama Salaf. Apa perbedaannya?

Pemahaman “tidak mentakwil” golongan yang menamakan dirinya Salafi

Golongan yang menamakan dirinya Salafi sebenarnya menganut Aqidah Tauhid dibagi 3 yang disusun pertama kali oleh Ibnu Taimiyah dan di akhir zaman ini dipopulerkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi dan pengikutnya. Perlu diketahui bahwa Aqidah ini telah keluar dari Jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini telah disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah pada bagian yang tidak diterangkan oleh Ustad Adi Hidayat.
“Tidak mentakwil”nya golongan ini berdasarkan Standard dalam Tauhid Asma wa Sifat yaitu mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif.

Lihat muslim.or.id/makna tauhid, (hasil scan dibawah ini)

istawa_kuasa

Karena gigihnya mempertahankan makna asli yang zahir dari Asma wa Sifat Allah yang Mutasyabihat (yang samar maknanya), mereka tetap memahami istiwa yang artinya “bersemayam dan tidak ditakwil (dipalingkan maknanya) menjadi “menguasai”. Walaupun akibat memahami makna asli Sifat Allah “istawa” dengan “bersemayam dengan makna zahir” telah membuat pengajarnya menjadi tidak tahu bahwa Arasy adalah makhluk Allah. (lihat Mengapa seorang Ustad bergelar Doktor penganut Aqidah 3 serangkai menjadi tidak tahu bahwa Arsy adalah makhluk Allah?).

Mereka juga mengatakan tidak boleh pula melakukan tafwidh. Tafwidh adalah tidak membahas maknanya sama sekali dan menyerahkan maknanya kepada Allah semata.

Jadi pemahaman mereka setelah membaca ayat tentang Asma dan Sifat Allah yaitu:

  1.  Memulai dengan menetapkan Asma wa Sifat Allah dengan makna asli yang zahir tanpa takwil, walaupun itu Asma wa Sifat dalam ayat Mutasyabihat. Mereka gigih mempertahankan makna asli yang zahir dari Asma wa Sifat Allah. Mereka beriman dan meyakini bahwa Ayat Mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Mereka mengatakan Allah punya tangan, Allah punya wajah, Allah bersemayam di atas Arasy dan pemahaman lain yang menyimpulkan Allah itu punya Sifat fisik atau Sifat Jasmani (Jisim) sehingga golongan ini disebut dengan golongan Mujassimah.
  2. Kemudian baru mensucikan Allah dari menyerupakan dengan makhluk. Yaitu dengan mengatakan Tangan, Wajah dan Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah berbeda dengan tangan, wajah dan bersemayamnya makhluk, ungkapan ini secara tidak sadar adalah sama dengan mereka berkata “sifat jism” Allah berbeda dengan sifat jism makhluk. Itulah sebabnya mereka dikatakan golongan Mujassimah, yaitu golongan yang meyakini Allah punya jisim.

Pemahaman “tidak mentakwil” Ulama Salaf

Para Ulama Salaf ada yang melakukan takwil dan sebagian besar tidak melalukan takwil Asma dan Sifat Allah dari ayat Mutasyabihat. Yang tidak mentakwil, mereka melakukan Tafwid yaitu tidak membahas maknanya sama sekali. Mereka mentanzih (mensucikan) Allah dari menyerupai makhluk terlebih dahulu, dan menyerahkan maknanya sepenuhnya kepada Allah semata. Ini sesuai dengan konsep Syahadat Tauhid yaitu kalimat Laa ilaaha Illallahu”, tiada tuhan selain Allah. Yaitu menolak terlebih dahulu adanya ilah yang patut disembah, kemudian baru menyatakan hanya Allah, Tuhan yang patut kita sembah. Jadi setelah mereka membaca ayat Mutasyabihat tentang Asma wa Sifat Allah

  1. Memulai dengan melakukan tanzih, yaitu mensucikan Allah dari menyerupakan dengan makhluk. Mereka membaca ayat Mutasyabihat sebagaimana lafaz bahasa Arab-nya. Karena melakukan tanzih (mensucikan Allah dari mnyerupai makhluk), mereka tidak memahami dan membahas makna zahirnya serta tidak pula memahami zahir terjemahannya.
    Mereka beriman dan meyakini bahwa Ayat Mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,
  2. Kemudian mereka menyerahkan sepenuhnya makna sebenarnya dari ayat Mutasyabihat (yang samar maknanya) kepada Allah semata, sebab hanya Allah Yang Maha Mengetahui maknanya.

Kalau orang hanya melihat sepintas lalu kedua pemahaman itu, nampaknya sama. Namun bagi orang yang berakal, kita dapat melihat perbedaan yang besar antara kedua pemahaman itu.  Ulama Salaf jelas mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan sempurna, sedangn golongan yang menamakan dirinya Salafi secara tidak sadar telah menyerupakan Allah dengan makhluk. Bagi yang masih belum faham perbedaan ini, marilah kita bahas bersama. Semoga Allah bantu kita untuk memahaminya.

Untuk itu marilah kita memahami apa itu ayat Mutasyabihat. Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang kalau difahami makna zahirnya memungkinkan orang memahami Allah menyerupai makhlukNya, karena makna Sifat Allah dalam ayat Mutasyabihat adalah samar.

Kalau Sifat Allah dalam ayat Mutasyabihat difahami secara zahir, maka makna itu menjurus kepada menyerupakan makhluk atau menjurus pada Sifat makhluk yang lemah. Sedang Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Itu sebabnya perlu ditakwil (dipalingkan maknanya) dengan syarat ayat Muhkamat (yang jelas maknanya) yang menjelaskan makna takwil itu (lihat Bagaimana Ahlussunnah wal Jamaah memahami ayat-ayat Mutasyabihat).

Sedang kaidah Tauhid Asma wa Sifat dalam Tauhid dibagi 3 adalah sebaliknya. Mereka menetapkan dahulu Asma dan Sifat Allah dalam ayat Mutasyabihat dengan makna zahirnya, baru kemudian melakukan tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya).

Hakikat pernyataan dengan makna zahir “Allah punya Tangan, punya Wajah, Bersemayam di atas Arasy tapi Tangan, Wajah dan BersemayamNya tidak sama dengan makhluk” adalah sama dengan kalimat “Allah punya “Sifat Jism” tapi “Sifat Jism” Allah tidak sama dengan Sifat Jism makhluk”.
Ini sama dengan keyakinan yang mengatakan pernyataan Tuhan punya anak tetapi anak Tuhan tidak seperti anak manusia. Atau Tuhan itu tiga, tapi “tiganya” Tuhan tidak sama dengan “tiganya” makhluk. Sehingga keluarlah pernyataan yang mereka sendiri tidak faham yaitu Tuhan itu tiga tapi satu dan satu tapi tiga.
Na’udzu billah min dzalik, semoga Allah lindungi kita dari keyakinan yang menyesatkan ini.
Bahaya pemahaman seperti ini dapat kita lihat dengan mengetahui Mengapa seorang Ustad bergelar Doktor penganut Aqidah 3 serangkai menjadi tidak tahu bahwa Arsy adalah makhluk Allah?.

Lihat juga:

Bahaya fahaman Mujassimah (3), Allah mempunyai sifat fisik?

Mengapa cara pembahasan Tauhid Rububiyah dalam ajaran Tauhid dibagi 3 justru dapat menjauhkan penganutnya dari makna penting Rububiyah Allah

Hakikat perbedaan ilmu yang bersanad dan ilmu tanpa sanad

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang ditakwil (dipalingkan maknanya) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Wallahu a´alam.

Artikel lain ada dalam Daftar Isi

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang ditakwil (dipalingkan maknanya) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Setelah kita membahas Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3. Marilah kita sama-sama membahas pula Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang ditakwil (dipalingkan maknanya) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3, sebagaimana yang tertulis dalam website mereka yang dikenal luas.

muslim.or.id

Tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).

Kemudian disebutkan hujjah dan dalil mereka bahwa tauhid rububiyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang adalah QS Az-Zukhruf:87

Surat Az-Zukhruf Ayat 87
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,

Lihat  video ini menit ke-7, dan ayat Quran pada website muslim.or.id/makna tauhid, (setelah tulisan yang diberi tanda merah).

muslim-or-id_org-kafir-percaya-tauhid-rububiyah

muslim-or-id-rbb

Lihatlah betapa mereka telah mentakwil (memalingkan makna) sebagian Sifat Rububiyah Allah yaitu “Menciptakan manusia” menjadi makna yang lain. Mari kita teliti bersama.
Dalam ayat diatas jelas disebutkan jika orang kafir jahiliyah ditanya “Siapa yang menciptakan mereka?”. mereka jawab “Allah”. Makna yang ditetapkan yang diakui oleh orang kafir jahiliyah dalam ayat tersebut adalah “Allah Menciptakan manusia”. Tetapi mereka telah mentakwil (memalingkan maknanya) menjadi “orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah”, seolah-olah Sifat Rububiyah Allah hanyalah “mencipta manusia”.

Demikian juga firman Allah dalam QS 29 Al Ankabut 61

29:61

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).

Dalam ayat diatas jelas disebutkan jika orang kafir jahiliyah ditanya “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?”. mereka jawab “Allah”. Makna yang ditetapkan yang diakui oleh orang kafir jahiliyah dalam ayat tersebut adalah “Allah Menciptakan langit dan bumi”. Tetapi mereka telah mentakwil (memalingkan maknanya) menjadi “orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah”, seolah-olah Sifat Rububiyah Allah hanyalah “mencipta langit dan bumi”.  Padahal banyak Sifat Rububiyah Allah yang lain yang tidak diakui oleh orang kafir Jahiliyah.

Anehnya lagi dalam Tauhid Asma Wa Sifat, mereka amat teguh mempertahankan makna asli Asma dan Sifat Allah bahkan untuk ayat Mutasyabihat pun difahami dan ditetapkan dengan makna zahirnya, seperti Sifat istawa di atas arasy. Pantang mereka mentakwilnya. (lihat Anomali Tauhid Asma Wa Sifat yang memahami sifat Allah sesuai lafaz zahir Asma dan Sifat Allah, kecuali Sifat Rububiyah)

rumaysho.com

Rumaysho_org_musy_mengakui_Tau_Rub_box

Dalam website  rumaysho.com/3637 disebutkan dalil dan hujjah bahwa orang musyrik mengakui tauhid rububiyah adalah QS Al Mukminun; 84-89:
23:84
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”
23:85

Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”

23:86

Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”

23:87

Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”

23:88

Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”

23:89
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?

Dalam QS Al Mukminun: 84-89 Sifat Allah yang ditetapkan – ketika orang kafir jahiliyah ditanya dengan pertanyaan tentang Sifat Allah – adalah sebagai berikut:

– Siapa Pemilik bumi dan seisinya
– Siapa Robb dari 7 langit dan Robb bagi Arasy yang besar
– Siapa Yang berkuasa atas segala sesuatu, sehingga tidak ada yang dapat berlindung dari-Nya
, kemudian mereka (orang kafir jahiliyah) menjawab “Allah”.
Perhatikan dengan teliti, pada pengakuan orang kafir dengan kata Robb, yang ditanya bukanlah Robb bagi mereka, tetapi Robb bagi 7 langit dan Robb bagi Arasy yang besar.
Sebagian Sifat Rububiyah Allah itu dengan mudahnya mereka takwil (palingkan maknanya) menjadi orang musyrik mengakui tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam semesta, dan penguasa jagad raya.
Seolah-olah hanya itu saja Sifat Rububiyah Allah. Padahal banyak Sifat Rububiyah Allah yang ditolak oleh orang musyrik. (lihat Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3. )

almanhaj.or.id

Dalam almanhaj.or.id/1978-tauhid-rububiyah-dan-pengakuan-orang-orang-musyrik-terhadapnya mereka juga menggunakan dalil QS Al Mukminun: 86-89. Lihat box merah dan box biru di snapshot di bawah.

Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap Rububiyyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah pun mengakui keesaan dan sifat Rububiyyah-Nya.

mhj_rbb_1_box

“Double Standard” ajaran Tauhid dibagi 3

Dari beberapa bukti di atas maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan bahwa “orang musyrik mengakui Tauhid Rububiyah” adalah hasil
1. mentakwil (memalingkan makna) sebagian Sifat Rububiyah Allah yang disebut dalam Al Qur’an yang makna zahirnya diakui oleh orang kafir musyrikin dan
2. menta’thil (mengingkari) sebahagian Sifat-Sifat Rububiyah Allah, yang tidak diakui oleh orang kafir musyrikin.
Ini juga bukti bahwa kaidah Tauhid dibagi 3 mempunyai “Double Standard” atau “Standar Ganda” yaitu:

Standard dalam Tauhid Rububiyah: mentakwil dan menta’thil Sifat Rububiyah Allah sehingga dapat membuat pernyataan “orang musyrik mengakui Tauhid Rububiyah”.

Sedang Standard Tauhid Asma wa Sifat: menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya, tanpa melakukan tahrif (takwil) dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil.

Mari kita teliti bersama (lihat juga video ini)

muslim.or.id

Lihat muslim.or.id/makna tauhid

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif.

Mereka amat teguh mempertahankan makna asli Asma dan Sifat Allah bahkan makna zahirnya, seperti Sifat istawa di atas arasy. Pantang mereka mentakwilnya dengan makna yang lain seperti “Menguasai”.

istawa_kuasa

rumaysho.com

Lihat rumaysho.com/908-di-manakah-allah-1

Mereka katakan hasil dari penelitian dan penyimpulan Al Qur’an dan As Sunnah, mereka mengatakan bahwa i’tiqod yang mesti diyakini seorang muslim adalah sebagai berikut.

Pertama: Hendaklah seseorang menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya.

Kedua: Penetapan nama dan sifat Allah di sini tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil.

Rumaysho_org_asma-wa-sifat

almanhaj.or.id

Lihat almanhaj.or.id/3263-tauhid-al-asma-wash-shifat-kaidah-tentang-sifat-sifat-allah-jalla-jalaluhu-menurut-ahlus-sunnah

Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas Diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Nama dan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.

Manhaj-or-id_asma_tanpa_takwil

Semoga Allah melindungi kita dari fitnah dan kekeliruan ajaran Tauhid dibagi 3 ini.

Lihat juga:

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Perbedaan mengakui Allah Yang Memberi Rezeki dengan dan tanpa mengaitkan dengan Sifat Rububiyah Yang Maha Mendidik dan Kasih Sayang

Perbedaan memahami Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan dengan dan tanpa Sifat Rububiyah Yang Maha Mendidik dan Kasih Sayang

Allah sebagai Maha Pencipta manusia di mata orang beriman dan orang musyrikin

Perbedaan pemahaman orang beriman dan orang kafir terhadap Allah sebagai Pencipta langit dan bumi

Hakikat perbedaan ilmu yang bersanad dan ilmu tanpa sanad

Wallahu a´lam

Artikel lain ada dalam Daftar Isi

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3 menyebutkan bahwa Tauhid ini diakui oleh orang kafir atau musyrikin. Namun sebenarnya kesimpulan ini dibuat disebabkan dalam pembahasannya telah menta’thil (mengingkari) banyak Sifat Rububiyah Allah. Tulisan ini menjabarkan beberapa Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang dita’thil itu, sebagaimana yang tertulis dalam website dari ajaran Tauhid dibagi 3 yang dikenal luas.

muslim.or.id

Dalam ajaran Tauhid dibagi 3 menyebutkan bahwa Tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).

Kemudian disebutkan bahwa tauhid rububiyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang (Lihat  video ini menit ke-7, dan snapshot di bawah ini yang ada pada website mereka muslim.or.id/makna tauhid, tulisan yang diberi tanda merah ).

muslim-or-id_org-kafir-percaya-tauhid-rububiyah

rumaysho.com

Rumaysho_org_musy_mengakui_Tau_Rub_box

Lihat text yang dalam box merah  rumaysho.com/3637 di atas.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa orang musyrik mengakui tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam semesta, dan penguasa jagad raya.

almanhaj.or.id

Lihat juga Tauhid Rububiyah dalam almanhaj.or.id/1978-tauhid-rububiyah-dan-pengakuan-orang-orang-musyrik-terhadapnya di bawah ini (lihat box merah di snapshot dibawah ini)

Tauhid Rububiyah dan pengakuan orang-orang musyrik terhadapnya (terhadap Tauhid Rububiyah)

Makna Tauhid Rububiyah:
Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk

 

mhj_rbb_box
mhj_rbb_1_box

Dalam Al Qur’an

Pernyataan orang musyrik mengakui Tauhid Rububiyah sebenarnya telah menta’thil banyak Sifat Rububiyah Allah, karena banyak Sifat Rububiyah Allah yang tidak diakui oleh orang kafir/musyrikin. Berikut ini kami sampaikan bukti Sifat Rububiyah yang disebutkan dalam Al Quran yang tidak diakui oleh orang kafir/musyrikin.
  1. Sifat Utama Rububiyah Allah adalah Rahmat (kasih sayang). Ini sesuai dengan makna Rububiyah yang akar katanya sama dengan Tarbiyah (Pendidikan akhlak), Murobbi (Pendidik akhlak) dan Robbayani (dalam doa untuk orang tua).  Sifat Rububiyah (Mendidik/Memelihara) erat sekali dengan Rahmat (Kasih Sayang). Siapa yang tidak mendapat pendidikan/pemeliharaan yang baik hakikatnya tidak mendapat kasih sayang.
    Dengan rahmat Allah, manusia dimasukkan ke dalam syurgaNya. Siapakah yang mempu memberikan rahmat yang demikian besar ini kalau bukan Allah.
    Orang kafir/musyrik tidak mengakui dan bahkan putus asa terhadap rahmat Allah sebagaimana disebut dalam Surat Al Ankabut 23

    Surat Al 'Ankabut Ayat 23
    Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.

  2. Sifat Rububiyah Allah mengutus Rasulullah shallallahu alahi wassalam sebagai rahmat untuk seluruh alam. Siapakah yang dapat mengutus Nabi dan Rasul kalau bukan Allah? Sifat Rububiyah Allah ini disebutkan dalam  QS Al Anbiya 107
    21:107
    Dan tiadalah Kami mengutus mu (Rasulullah), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

    Tetapi kaum kafir/musyrikin tidak mengakui Sifat Rububiyah Allah ini, bahkan menuduh para Rasul itu adalah ahli sihir dan pendusta, sebagaimana firman Allah dalam QS Shaad:4.

    Surat Shaad Ayat 4

    Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”.

    Maka tidak heran jika orang kafir atau musyrikin yang menolak Rasulullah shallallahu alahi wassalam sebagai rahmat Allah, akhirnya menjadi putus asa terhadap rahmat Allah,

  3. Sifat Rububiyah Allah menghidupkan manusia di akhirat.
    Siapakah yang mampu menghidupkan manusia di akhirat setelah mematikannya di dunia selain  Allah? QS Al Qiyamah: 40

    Surat Al-Qiyamah Ayat 40

    Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?

     
    Sifat Rububiyah Allah ini diingkari oleh orang kafir/musyrikin
    , sebagaimana firman Allah dalam QS An-Naziat: 10-11

    Surat An-Nazi´at Ayat 10
    (Orang-orang kafir) berkata: “Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan semula?
    Surat An-Nazi´at Ayat 11
    Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?”

  4. Sifat Rububiyah Allah menurunkan Al Qur’an. Siapakah yang dapat menurunkan Al Qur’an kalau bukan Allah? Firman Allah dalam QS Al Hijr:9
    15:9

    Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

    Sifat Rububiyah Allah ini tidak diakui oleh orang kafir/musyrikin. Allah menceritakan dalam QS Al Anfal:32
    8:32
    Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih”.

    Dalam ayat di atas, bahkan orang kafir dalam ayat di atas menantang, minta di adzab jika benar Quran itu adalah dari Allah subhanallahu wa ta’ala. Na’udzu billah min dzalik.

Masih banyak Sifat Rububiyah Allah yang tidak diakui olah orang kafir/musyrikin dan tidak dibahas sama sekali dalam Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3. Seperti  Allah Maha Pengampun, Allah Maha Adil, Allah Maha Pemberi Hidayah, Allah Maha Memberi adzab, Menciptakan syurga, Menciptakan neraka, dan lain-lain.
Jadi kalau satu saja Sifat Rububiyah ini tidak dita’thil (diingkari) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3 tentu pernyataan  “orang kafir/musyrik mengakui Tauhid Rububiyah” tidak dapat dibenarkan. Namun begitulah ajaran Tauhid dibagi 3 yang aneh dan saling bertentangan. Ini bukti bahwa ajaran Tauhid dibagi 3 tidak punya manhaj (methode) yang jelas serta double standards.

Standard dalam Tauhid Asma wa Sifat mereka menetapkan Asma wa Sifat Allah dengan makna zahir tanpa takwil dan tanpa ta’thil. Namun standard dalam Tauhid Rububiyah justru menetapkan Sifat Rububiyah dengan menta’thil banyak Sifat Allah hanya agar dapat mengeluarkan pernyataan “orang kafir/musyrik mengakui Tauhid Rububiyah”.
Di sisi lain pernyataan “orang kafir/musyrik mengakui Tauhid Rububiyah” sebenarnya adalah hasil mentakwil sebagian Sifat-Sifat Rububiyah yang diakui orang kafir.

Semoga Allah melindungi kita dari fitnah dan kekeliruan ajaran Tauhid dibagi 3 ini.

Lihat juga:

Sifat-Sifat Rububiyah Allah yang ditakwil (dipalingkan maknanya) dalam pembahasan Tauhid Rububiyah ajaran Tauhid dibagi 3

Perbedaan mengakui Allah Yang Memberi Rezeki dengan dan tanpa mengaitkan dengan Sifat Rububiyah Yang Maha Mendidik dan Kasih Sayang

Perbedaan memahami Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan dengan dan tanpa Sifat Rububiyah Yang Maha Mendidik dan Kasih Sayang

Allah sebagai Maha Pencipta manusia di mata orang beriman dan orang musyrikin

Perbedaan pemahaman orang beriman dan orang kafir terhadap Allah sebagai Pencipta langit dan bumi

Hakikat perbedaan ilmu yang bersanad dan ilmu tanpa sanad

Wallahu a´lam

Artikel lain ada dalam Daftar Isi