Dalam Al Qur´an terdapat ayat yang Muhkamat, yaitu yang jelas maknanya dan ayat yang Mutasyabihat, yaitu ayat yang syubhat atau samar maknanya. Hal ini disebutkan dalam QS Ali Imran:7. Kemudian kita dianjurkan untuk selalu membaca doa yang berkenaan dengan ayat Mutasyabihat ini pada ayat berikutnya
Ayat Mutasyabihat atau ayat samar/syubhat adalah ayat yang makna zahirnya memungkinkan orang terkeliru memahaminya sehingga menyerupakan Allah dengan makhlukNya:
Ada 2 cara dalam Ahlussunnah wal jamaah memahami ayat Mutasyabihat:
- Membaca ayat mutasyabihat sebagaimana lafaz bahasa Arab-nya, tetapi tidak memahami dan membahas makna zahirnya serta tidak pula memahami zahir terjemahannya. Kita beriman dan meyakini bahwa Ayat Mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana disebut dalam QS Ali Imran ayat 7.
- Kita meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk. Disini kita memulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. kemudian
- Kita serahkan sepenuhnya makna sebenarnya kepada Allah semata, sebab hanya Allah Yang Maha Mengetahui maknanya.
- Membaca ayat mutasyabihat sebagaimana lafaz bahasa Arab-nya, tetapi tidak memahami dan membahas makna zahirnya serta tidak pula memahami zahir terjemahannya. Kita beriman dan meyakini bahwa Ayat Mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana disebut dalam QS Ali Imran ayat 7.
- Kita meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, Disini kita memulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk, kemudian
- Kita membahas maknanya dengan mengalihkan dari membahas ayat Mutasyabihat kepada membahas ayat Muhkamat yang pasti maknanya yang berkaitan dengan ayat Mutasyabihat itu. Mengapa mesti kita alihkan kepada ayat Muhkamat? Adalah agar kita meninggalkan hal yang syubhat dan berpegang kepada yang pasti, sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan:
عَنْ أَبِـيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ وَرَيْحَانَتِهِ قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ :((دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ)). رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
.Dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh]
Ayat Muhkamat adalah jelas maknanya dan sudah pasti benar, maka kalau kita katakan bahwa ayat Mutasyabihat itu diantaranya berarti seperti yang disebut dalam ayat Muhkamat, adalah tidak akan bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah. Dalam ayat Muhkamat itulah terkandung pokok agama dan menerangkan perkara yang bekaitan dengan ayat Mutasyabihat. - Tetapi walaupun begitu kita tetap menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah semata, sebab hanya Allah Yang Maha Mengetahui maknanya yang pasti.
Mengapa Ulama Khalaf lebih banyak melakukan Takwil? Sebab di zaman itu, Islam telah berkembang ke daerah berbudaya tinggi tetapi yang mempunyai keyakinan yang menyesatkan, seperti budaya/agama Yunani yang mempercayai dewa-dewa. Mereka mempercayai dan terbiasa dengan kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang berjism (bersosok/mempunyai bentuk/jasad), sehingga mempengaruhi keyakinan kaum yang baru masuk Islam. Mereka banyak mempertanyakan hal-hal Aqidah, yang memerlukan penjelasan, dengan melakukan takwil, yaitu mengalihkan dari membahas ayat yang Mutasyabihat yang samar artinya kepada membahas ayat yang Muhkamat yang jelas maknanya dan dapat difahami oleh akal sesuai dengan fitrahnya.
Tafwid (tidak melakukan takwil) Ulama Salaf dalam memahami ayat Mutasyabihat berbeda jauh dengan tidak melakukan takwilnya pemahaman Ulama yang sekarang menamakan dirinya Salafi/Wahabi (penganut Tauhid dibagi 3).
- Ulama Salaf melakukan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk terlebih dahulu, baru kemudian menetapkan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa membahas. Seperti disebut di atas sesuai dengan konsep Syahadat Tauhid “Laa ilaaha illallah”, yaitu menolak terlebih dahulu adanya ilah selain Allah baru menetapkan hanya Allah satu-satunya Ilah (Tuhan yang layak kita sembah).
- Sedangkan ulama Salafi/Wahabi (penganut Tauhid dibagi 3) mengikut pemahaman ulama mereka, yaitu menetapkan Sifat Allah dengan makna zahir ayat Mutasyabihat terlebih dahulu, baru kemudian melakukan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk, seperti yang tersebut dalam Tauhid asma wa sifat yang mereka susun. Mereka menetapkan dahulu bahwa Allah ada di atas Arasy sebagaimana makna zahirnya, tidak boleh menta`thil (mengingkari), tidak mentakwil (mengganti), sehingga mereka memahami Allah punya tangan, punya wajah, punya kaki, berada di atas sebagaimana makna zahirnya. Bahkan disebutkan bahwa Allah mempunya sifat fisik (lihat video ini). Disebut disitu bahwa Allah punya telapak kaki yang dipakai untuk membuat neraka menjadi mengkerut seperti daging. Dalam video ini Disebut tempat telapak kaki Allah (Kursi) meliputi langit dan bumi tempat telapak kaki Allah (Kursi) meliputi langit dan bumi.
Kemudian baru ditanzih: tanganNya, wajahNya, kakiNya tidak serupa dengan tangan, wajah dan kaki makhluk. Walaupun disebut tidak serupa makhluk tetapi ini berbahaya sebab:
1. Syubhat menyerupakan Allah dengan makhluk secara tidak sadar dan memahami Allah berjasmani (berjisim, punya volume, ada di lokasi tertentu yang ada arah, baik di alam nyata maupun yang ghaib). Ini sebenarnya sifat jisim makhluk atau alam, walaupun kemudian mereka katakan “jism Allah” bukan seperti “jism makhluk”. Itu sebabnya golongan ini disebut Mujassimah (golongan yang meyakini Allah berjisim). Pemahaman Mujassimah ini sudah mereka masukkan melalui catatan kaki Mushaf Al Qur´an.
2. Melanggar Sifat Wahdaniyah Allah, yakni Maha Esa. Kalau ditanya dimana Kuasa Allah, ada pada kakiNya, wajahNya, tanganNya atau pada bagian Dzat Allah yang lain? ada berapa jumlah Kuasa Allah?
Kalau dikatakan ada pada bagian-bagian Dzat itu tetapi satu, satu tetapi ada pada bagian-bagian Dzat Allah itu, maka ini sama dengan keyakinan orang yang berkata tiga tapi satu, satu tapi tiga. Mereka tidak sadar bahwa sifat berbilang dalam satu dzat juga termasuk sifat jisim (tubuh), sifat yang menyerupai makhluk. Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang seperti itu.
Namun anehnya ketika mereka membahas Sifat Rububiyah dalam Tauhid Rububiyah, mereka tidak lagi memegang makna zahir Rububiyah -yang akar katanya sama dengan Tarbiyah, Murobbi, Robbayani (dalam doa untuk orang tua)- yang artinya Memelihara/ Mendidik yang erat dengan Sifat rahmat (kasih sayang). Sifat ini justru mereka ta’thil (buang), sehingga mereka meyakini orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah, padahal dalam Quran disebut orang kafir mengakui arbaba (banyak robb) selain Allah dan tidak mengakui Allah dapat menghidupkan mereka di kali kedua setelah mereka mati di dunia.
Contoh Takwil Ulama khalaf Ahlussunnah Wal Jamaah:
- Kita membaca apa adanya sebagaimana lafaz bahasa Arab-nya. Kita beriman dan meyakini bahwa Ayat Mutasyabihat ini adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana disebut dalam QS Ali Imran ayat 7.
- Kita meyakini Allah tidak serupa dengan makhlukNya atau melakukan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Kita tidak memahami bahwa Allah bersemayam atau ada di atas arasy sebagaimana makna zahirnya.
- Kita membahas ayat Muhkamat yang ada kaitannya dengan ayat Mutasyabihat.
Contoh ayat Muhkamat itu adalah
- QS At Taubah:129
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Robb (Tuhan Yang Menguasai, Memiliki, Mencipta, Memelihara) ‘Arsy yang agung“.
Dalam surat At Taubah:129 jelas disebut bahwa Allah adalah Robb (Penguasa, Pemilik, Pencipta, Pemelihara) dari Arasy yang agung. Kata Al Azhim disini ditulis dengan kasroh (tanda harakat di bawah) menunjukah keterangan untuk Arasy. Allah adalah Robb seluruh alam, dimana salah satu makhlukNya yang agung adalah Arasy. Inilah salah satu pokok keyakinan kita, Dalam ayat itu tidak akan ada kekeliruan pemahaman atau penyerupaan Allah dengan makhlukNya
atau
yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia,
Dalam Surat Al Buruj ayat 15 juga dijelaskan bahwa Allah Yang Maha Mulia adalah Pemilik Arasy. Al Majid ditulis dengan dhomah (tanda harakat di depan) adalah keterangan untuk Robb. Makna ayat ini jelas, tidak akan ada kekeliruan dan tidak ada keraguan
Jadi makna ‘alal ‘Arsy istawa surat Thaha ayat 5 diantaranya dapat bermakna Robbul ‘Arsy seperti termaktub dalam Surat At-Taubah ayat 129 dan Dzul ‘Arsy sebagaimana dalam Surat Al Buruj ayat 15. Kedua ayat Muhkamat ini jelas maknanya dan tidak ada keraguan dalam memahaminya sebab tidak ada syubhat penyerupaan Allah dengan makhlukNya.
4. Bagaimanapun makna ‘alal ‘Arsy istawa yang sebenarnya dalam surat Thaha ayat 5 itu hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
– Allah adalah Robb, Penguasa, Pencipta, Pemilik dan Pemelihara Arasy.
Sebaliknya contoh Ayat Mutasyabihat (surat Thaha ayat 5) adalah samar artinya, Allah tidak suruh kita membahasnya. Hanya orang-orang yang condong pada kesesatan yang membahasnya sehingga menimbulkan fitnah. Itu sebabnya di ayat berikutnya (QS Ali Imran ayat 8) kita disuruh membaca doa khusus untuk minta perlindungan kepada Allah dari fitnah ini setelah kita mendapat hidayah.
Artikel lain ada dalam Daftar Isi
Ping-balik: Begini Cara Ahlussunnah Wal Jama’ah Memahami Ayat-Ayat Mutasyabihat – Pecihitam.org
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? (Al Mulk 16)”
“atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al Mulk 17)”
SukaSuka
Tuan EP, terima kasih atas komentarnya. Namun jika anda memahaminya dengan makna zahirnya tanpa takwil dan tanpa ta’thil sebagaimana kaidah Tauhid Asma wa Sifat. Maka mohon maaf, bahwa keyakinan itu menunjukkan bahwa ajaran Tauhid dibagi 3 itu memang double standard (standard ganda)
Standard Tauhid Asma wa Sifat: menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya, tanpa melakukan tahrif (takwil) dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil.
Sedang Standard dalam Tauhid Rububiyah: justru mentakwil dan menta’thil Sifat Rububiyah Allah agar dapat membuat pernyataan “orang musyrik mengakui Tauhid Rububiyah”.
Contoh Sifat Rububiyah yang di takwil (dipalinglan maknanya) adalah Sifat Allah Mencipta langit dan bumi. Dalam Quran ditetapkan Sifat Rububiyah Allah yang ditanyakan kepada orang musyrik adalah “Siapakah Yang Menciptakan langit dan bumi”, orang musyrik menjawab “Allah”. Langsung dipalingkan maknanya menjadi “orang musyrik mengakui Tauhid Rububiyah”, seolah-olah, Sifat Rububiyah Allah hanyalah mencipta langit dan bumi. Padahal banyak Sifat Rububiyah Allah yang tidak diakui oleh orang musyrik.
Contoh Sifat Rububiyah Allah yang di ta’thil (diingkari) dalam Tauhid Rububiyah adalah “Menghidupkan manusia di akhirat”. Sifat Rububiyah Allah ini tidak diakui oleh orang musyrik
Itu sebabnya mengapa cara pembahasan Tauhid Rububiyah dalam ajaran Tauhid dibagi 3 justru dapat menjauhkan penganutnya dari makna penting Rububiyah Allah
SukaSuka
Ping-balik: Begini Cara Ahlussunnah Wal Jama’ah Memahami Ayat-Ayat Mutasyabihat | Pecihitam.org
Mohon Dijelaskan istiwa yang ada di surat Al-Baqarah ayat 29… terima kasih.
SukaSuka
Tuan Lukman, untuk memahami Aqidah islam dengan baik kita perlu belajar Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz bagi Allah. Kami sudah menulis ada 4 bagian, ini bagian pertamanya:
Kalau tidak kita dapat keliru memahami Sifat Allah yang lain. Khususnya sekarang ini karena ada fahaman Aqidah yang memahami Allah itu berjisim (mempunyai jasad/sosok tubuh), seperti fahaman Aqidah Tauhid dibagi 3.
Mereka kalau membaca ayat Quran yang seolah-olah menunjukkan tempat, mereka langsung memahaminya Dzat Allah menempati tempat, atau bergerak ke arah tertentu. Ini adalah sifat jisim (jasad/sosok tubuh). Padahal Allah bukan jisim, hanya makhluk yang berjisim, baik makhluk di alam zahir maupun makhluk di alam ghaib. Itu sebabnya ayat seperti itu disebut ayat Mutasyabihat.
Bagi ahlussunnah wal Jamaah, ayat ayat yang seperti itu tidak dapat difahami dengan makna zahir bahwa yang dimaksud adalah Dzat Allah, Contoh lain
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)
Disitu Allah berkata, Allah itu dekat. Yang dekat disitu bukan Sifat dekat dengan makna jarak Sifat Maknawiyah, yang kita dapat faham tanpa mengaitkan dengan jisim (tubuh/sosok tubuh). Dekat disitu yang dimaksud adalah tanda-tanda Sifat Maha Sempurna Allah itu sangat dekat, seperti Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui Allah, Maha Melindungi terhadap diri kita sangat dekat sehingga dapat kita rasakan.
Sehingga Allah Maha Mendengar semua doa kita, dan Maha Kuasa mengabulkan doa kita
Maka demikian juga dengan makna Istawa, yang dimaksud bukan Sifat zahirnya tetapi Sifat Maknawiyah. Kita dapat memaknai Allah Berkehendak menciptakan langit,
lihat: https://tafsirweb.com/287-quran-surat-al-baqarah-ayat-29.html
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Wallahu a’lam
SukaSuka